oleh : Fahrizal Ubbe
(Aktivis Peneleh Regional Makassar dan Kader LEMI Cabang Gowa Raya)
Berangkat dari membaca otobiografi singkat Bung Hatta yang dituangkan dalam buku seri tokoh oleh Tempo yang berjudul “Hatta : Jejak yang Melampaui Zaman”, ternyata untuk menemukan spirit pemuda yang memperjuangkan ekonomi kerakyatan dan umat, kiranya perlu banyak belajar dari beliau. Ia yang tak sekedar Bapak Koperasi Republik Indonesia, melainkan seorang Nagarawan dan Ekonom sejati.
Beberapa hari lalu, kita memperingati hari Pahlawan 10 November. Momentum ini membawa penulis ingin berbagi keresahan dan ketakutan perihal nasib masa depan ekonomi kita. Ekonomi yang perlahan jauh dari cita-cita para pejuang dan pahlawan.
Dulu, pada masa Cultuur Stelsel (Sistem Tanam Paksa), masyarakat diwajibkan menanam komoditas ekspor Belanda sebayak 20% dari tanah mereka. Namun, tetap dikenakan pajak oleh pelopor kebijakan tersebut, Gubernur Jenderal Graaf Johanes Van Den Bosch. Jika melihat masa sekarang, sistem di atas kita rasakan dengan lebih halus dilakukan pemerintahan kita sendiri. Misalnya, dominasi swasta yang memanfatkan hasil bumi kita. Kemudian membayarkan pajak ke pemerintah, tanpa punya pengawasan ketat atas keseimbangan pengelolaan.
Bung Hatta menyikapi mengkristalnya sistem tanam paksa tersebut dengan menerapkan ideologi ekonomi tolong-menolong dan gotong royong. Ia mempraksiskannya melalui koperasi. Meskipun koperasi sudah ada di masa Hindia Belanda yang diterapkan oleh Haji Oemar Said Tjokroaminoto, ia memasifkannya dengan menuangkan dalam Rancangan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dalam Pasal 33 ayat 1 UUD 1945 yang bunyinya “Perekonomian ini disusun sebagai usaha bersama atas Asaz Kekeluargaan”. Dimana Bung Hatta menginginkan Demokrasi Ekonomi bisa hadir dari koperasi. Tempat dimana terletak perkumpulan orang, bukan sekedar perkumpulan modal. Hanya saja amanat UUD Pasal 34 ayat 1 ini dikhianati oleh rakyat sendiri oleh pengaruh paham Ekonomi Barat, yaitu kapitalisme dan liberalisme.
Apa Itu Hattanomics dan Bagaimana Menjawab Realitas Saat Ini?
Dalam tulisan Tiga Jurus Hattanomics Dwi Setyo Irawanto (Wartawan yang tinggal di Jakarta) dalam Bab Kolom-Kolom buku seri tokoh “Bung Hatta” oleh Tempo, dibahasa bagaimana tiga jurus ini hadir dalam konsep Hattanomics.
Di sinilah tiga jurus ekonomi Bung Hatta menjadi solusi. Pertama : penguasaan aset oleh negara. Kedua : kontrol terhadap usaha swasta. Ketiga : tumbuhnya perekonomian rakyat mandiri. Poin ketiga yang lalu dipraksiskan dalam bentuk koperasi yaitu perhimpunan manusia yang memiliki usaha bersama dalam mencapai kesejahteraan dan kemakmuran. Bukan sebaliknya yang kita lihat, koperasi dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan pemerintah. Tentu hal ini tidak mencerminkan kemandirian dan kesadaran dari bawah. “Harusnya semangat koperasi itu bottom up (dari bawah ke atas),” kata Bung Hatta.
Tentu dengan munculnya regulasi baru soal koperasi multipihak yang dicabangkan oleh Kementerian Koperasi dan UKM, diharapkan dapat menguatkan posisinya dalam bersaing dengan badan usaha yang mencerminkan individualitas seperti UD, CV dan PT, dan yang sejenis.
Atas gagasan inilah, cikal bakal pintu liberalisme masuk dengan alibi menjunjung tinggi hak kepemilikan individu dan juga Hak Asasi Manusia (HAM). Tak sadar, kita terjebak oleh paham liberalisme. Sebuah tipu daya oleh kepemilikan bagi para kuasa modal yang hanya memperkaya diri.
Padahal Bung Hatta sudah mengingatkan ke Bung Karno, yang menjunjung kebebasan diberikan individu dengan dasar terciptanya keadilan sosial, padahal kebebasan-kebebasan itu “tidak dapat mengisi perut orang yang hendak mati kelaparan” dimana terlihat betul Bung Karno di sini mementingkan Kedaulatan Individu dan Hatta mementingkan Kedaulatan Rakyat.
Bahwa tingkat kedalaman melihat pemikiran sosialis Bung Hatta lebih kuat analisanya ketimbang sahabat dan proklomator Bung Karno. Olehnya akibat dari kebebasan hak individu ini telah mengkhawatirkan Bung Hatta membaca akan muncul negara kekuasaan akibat keputusan Bung Karno, kemudian tak dipedulikanlah kekhawatiran orang nomor dua.
Indonesia, walapun kolionialiame telah hilang, tetapi kediktatoran dan penindasan akan terjadi di negara ini, karena rumusan negara kita haknya untuk individu bukan hak untuk berserikat.
Dari sana, terlihatlah siapa bapak demokrasi yang utuh. Bukan berarti Bung Karno tak demokrasi. Hanya saja, cukup disayangkan pendapat atas kekhawatiran oleh wakilnya dan juga sahabatnya tidak dipertimbangkannya dalam membaca resiko masa depan rakyatnya.
Apalagi, Bung Karno mengingatkan kita pada salah satu pidatonya, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian melawan bangsa sendiri”. Dari pesan ini harusnya meberikan kesadaran pemuda untuk membaca pergolakan yang terjadi di realitas, mari belajar dari spirit pemuda yang bersatu, bukan malah terpecah belah. Maka, wajar saja apa yang diperjuangkan tidak terwujud.
Dapatkah Hattanomics Hidup kembali di Masa Pandemi?
Pertanyaan soal Hattanomics bisa hidup, menurut pribadi penulis sangat bisa diwujudkan. Karena apa yang terjadi pada tahun 1963 dan 2021 sangat relevan dengan ketidakadilan yang disebabkan sistem perkonomian liberalisme dengan wajah kapitalisme. Kemudian ditambah dampak pandemi secara global menandakan kesadaran akan ekonomi harus ditopang bersama-sama (kolektif/konsolidasi) dan tidak bisa sendiri lagi (individualis).
Tidak ada lagi bekerja sesuai spesifikasi dan fungsional lagi tetapi harus konsolidasi agar nilai Hattanomics ini bisa terimplementasi. Semoga Prinsip Nilai-Nilai Hattanomics ini bisa mejadi role model baru dengan wajah barunya tentunya dengan semangat berekonomi lewat Konsolidasi secara Mandiri dan Bersama yang di tuangkan dalam koperasi digital misalnya.
Hattanomics ini akan menjadi bagian spirit kita lagi dalam Demokrasi Ekonomi dengan versi baru harus menjadi tahdim atas ketertindasan dan tipu daya paham ekonomi liberal. Semoga akan hadir para Hatta baru dalam melanjutkan perjuangan demokrasi ekonominya yang dituangkan dalam bukunya “Demokrasi Kita”.
Penulis : (