Oleh Anik Meilinda
Akhir-akhir ini, jagad maya sempat digegerkan oleh sebuah modus baru pelecehan seksual. Seorang oknum dokter di Semarang mencampurkan sperma ke makanan istri temannya. Gilanya, kejadian itu dilakukan dalam kurun waktu Oktober hingga Desember 2020.
Perlu diketahui, pelaku tinggal di rumah yang sama dengan korban dan suaminya. Yang mana pelaku adalah teman suami korban. Kronologi kejadian dimulai saat timbul kecurigaan korban melihat tudung saji makanannya yang selalu berubah posisi. Pun makanannya berubah bentuk.
Desember, korban berinisiatif merekam area tempat dimana makanan itu diletakkan. Di sanalah, korban melihat awalnya pelaku mendekati kamar mandi, lalu melakukan masturbasi. Setelah itu, ia duduk di samping meja makan dan mencampurkan spermanya di makanan korban.
Menurut rekomendasi umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 19, hal ini masuk dalam kategori bentuk deskriminatif terhadap perempuan. Atas perbuatannya itu, pelaku diancam Pasal 281 KUHP Pidana tentang merusak kesopanan di muka umum dengan ancaman pidana penjara 2 tahun 8 bulan.
Dalam sebuah kesempatan diskusi, Nia Lishayati pengurus divisi bantuan hukum di Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) mengungkapkan hal Ini merupakan modus baru di Indonesia.
Korban mengalami dampak traumatik yang sangat luar biasa. Hal ini dibuktikan dengan korban masih mengonsumsi obat yang diresepkan oleh psikiater dan melakukan pemulihan psikologis ke psikolog.
Mirisnya, pelaku adalah seorang dokter yang notabene mengetahui perihal dunia kesehatan. Tapi memang, profesi dan latar belakang tidak menjamin seseorang tidak melakukan kekerasan seksual. Selama ada kesempatan, nafsu meronta-ronta, kejahatan bisa terjadi.
Kabar terakhir, kasus ini masih dalam penyidikan. Polisi masih memastikan bahwa pelaku tidak mengalami gangguan jiwa. Misal ya, pelaku mengalami gangguan jiwa. Tapi kan dia sedang menempuh pendidikan dokter spesialis di salah satu perguruan tinggi di Semarang. Masak iya, dia gila, atau jangan-jangan gila karena kuliah? Bisa jadi juga.
Yang jelas, kelakuan seperti ini tidak bisa dibiarkan. Bentuk kekerasan seksual yang non verbal saja tidak boleh disepelekan, apalagi ini. Jangan biarkan semakin banyak korban yang jatuh. Apalagi jika menengok dampak psikis yang ditimbulkan, hal ini bisa memicu sakit fisik pula.
Pesan untuk jaksa dan kepolisian. Jangan cuma fokus kasus hukum pelaku. Perhatikan juga aspek psikis korban. Ia pun membutuhkan pendampingan. Jangan sampai, proses penyidikan malah menambah trauma. Bentuk pertanyaan dan perspektif yang dibawa jangan sampai malah menjatuhkan.
Penegak hukum seharusnya memberikan jalan mulus bagi siapa saja yang berani speak up. Dengan begini, akan semakin banyak masyarakat yang melapor. Mengingat, dimungkinkan masih banyak bentuk pelecehan seksual yang belum diketahui.
Meskipun memang mengungkapkan hal seperti itu tidaklah mudah. Trauma kerap membungkam mulut sendiri, dengan harapan akan hilang dengan sendirinya. Namun, nyatanya manusia selalu butuh didengarkan dan diberi ruang meluapkan rasa. Kerap kali, bercerita menjadi jalan ampuh memulihkan kesehatan.