Oleh: Nensy Setyaningrum
Pandemi telah mengubah berbagai lini kehidupan. Tidak terkecuali kecemasan terhadap berubahnya tatanan pendidikan secara eksponensial. Pendidikan memegang peranan penting dalam membangun SDM yang berkualitas untuk peradaban bangsa. Pendidikan saat ini telah dihadapkan dengan tantangan dan hambatan baru yang belum pernah dibayangkan sebelumnya. Efek Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) telah mengurangi esensi dari pengajaran itu sendiri. Bahkan makna Ing Ngarso sun Tuladha, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani, kini pengimplementasiannya semakin bias. Konsep ke-ilahian atau nilai karakter yang katanya ditanamkan dalam kurikulum kerap kali gagal dievaluasi apalagi direkonstruksi. Bagaimana fenomena masuk ruang Zoom namun off camera dan membiarkan gawainya begitu saja. Secara tidak langsung di luar alasan sinyal, menunjukkan indikasi turunnya nilai keta’dziman terhadap seorang guru.
Teknologi telah memanjakan generasi milenial dengan keserbaadaan mengakibatkan semakin maraknya plagiarisme. Pada tahun 2016 hasil riset “Peringkat Negara-Negara Paling Banyak Membaca” yang dirilis oleh John Miller dari Central Connecticut State University menempatkan Indonesia sebagai negara peringkat 60 dari 61 negara yang dinilai. Dampaknya Indonesia pada 2019, skor literasi Programme for International Student Assessment (PISA) yang diukur dari aspek membaca, matematika, dan sains, Indonesia berada pada urutan 72 dari 77. Ditambah lagi adanya pandemi mulai tahun 2020 sampai sekarang ini memasifkan gerakan malas berpikir dan malas menganalisis realita. Konsekuensinya, pemuda gagal dalam memahami permasalahan apa yang sedang dihadapi bahkan mengira bahwa saat ini bangsa sedang tidak terjadi apa-apa.
Belum lagi mengenai kesenjangan insfrastruktur di sektor pendidikan antardaerah. Memunculkan fakta tingginya perbedaan persentase kelanjutan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi antara pedesaan dan perkotaan.
Untuk itu, konsep apa yang dapat ditawarkan? Apakah melalui jalan institusional atau jalan budaya? Dengan jalan top-down atau bottom-up? Dengan jalan antisipatif atau terstruktur? Tatanan institusional saat ini sudah tidak bisa dijadikan pijakan untuk mengambil langkah perubahan, singkatnya lebih baik mendesain generasi sekarang untuk menata masa depan. Logika Pancasila yang merupakan kunci kebudayaan dan peradaban justru akan menjadi kekuatan besar untuk mencetak generasi yang bermoral. Jalan top–down kerap kali mencerminkan bahwa progam yang dijalankan tidak tepat sasaran karena hanya menyentuh permukaan masalah. Sedangkan jalan antisipatif tidak menjangkau jangka panjang.
Lantas pendidikan seperti apa yang dicita-citakan? Pemuda ideal seperti apa yang diharapkan bangsa ini? Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto dalam tulisannya mengungkapkan bahwa insan kamil adalah pemuda yang dapat membaca realita dengan garis keilahian melalui Konsolidasi, Hijrah, Zelfbestur, dan Aksi. Sehingga sudah seharusnya pendidikan mampu mencetak karakter pemuda insan kamil tersebut.
Ada berbagai aspek pendidikan yang dapat direkonstruksi. Antaranya aspek kurikulum, guru, dan harmonisasi antara pemerintah dengan stakeholder. Dalam spirit Ki Hajar Dewantara, pendidikan harus diselenggarakan sebagai “Taman yang Menguatkan” sehingga siswa merasa aman dan nyaman. Akhirnya siswa merasa memiliki tempat dan dihargai keunikannya (memanusiakan manusia). Kurikulum harus fleksibel, integratif, dan berkelanjutan. Ikhtiar ini dapat dilakukan dengan mengembangkan kurikulum-kurikulum pilihan yang selaras dengan karakter dan potensi unggulan daerah. Melalui kurikulum perlu diperkokoh berbagai karakteristik pribadi peserta didik sebagai warga negara yang memiliki jiwa nasionalisme yang kuat dan perilaku keberagamaan yang kokoh sesuai dengan Pancasila dan filosofi Bhinneka Tunggal Ika.
Dari sisi guru, guru merupakan salah satu kunci perubahan. Seorang guru harus sudah selesai dalam konsep hubungan dengan Tuhan, alam dan manusia. Sehingga dengan itu harapannya seorang guru dapat menjadi role model yang memiliki nilai-nilai seperti berkarakter, dapat berperan sebagaimana tiga nilai Ki Hajar Dewantara dibagian awal tadi, pembelajar sepanjang hayat, transformatif, dan adaptif. Kemudian dikarenakan perbaikan itu dengan bottom–up maka antara pemerintah dan institusi pendidikan harus menjalin konsolidasi serta komunikasi yang baik. Seluruh pemangku kebijakan harus memiliki kemampuan yang kuat untuk menjadikan pendidikan sebagai agenda pembangunan yang utama. Dengan ini, pada akhirnya generasi Indonesia diharapkan dapat menjadi generasi yang memiliki jiwa kaprawiran alias unggul, bermartabat, religius, nasionalis, dan berbudaya.
Perlu diseberluaskan gagasan ini. Agar tak hanya berhenti pada tulisan saja. Semoga akan mewujud menjadi aksi nyata di lapangan praksis. Merdeka…