Oleh : Aripudin
Telah menjadi common sense di tengah masyarakat indonesia bahwa pesantren merupakan indigenous school atau alam pendidikan khas milik nusantara. Beragam interpretasi tentang sejarah kemunculan pesantren dari para ilmuan sejarah, namun semuanya sepakat bahwa eksistensi pesantren berakar dan tumbuh dari tanah, air, udara dan samudera budaya nusantara. Pesantren bisa diistilahkan cagar pendidikan yang harus dirawat dan diwarisi agar senantiasa survive ditengah perubahan zaman yang sangat pesat.
Salah satu pilar utama pesantren selain keberadaan kiai, masjid dan pondok, yaitu santri. Santri yang akrab disapa kaum sarungan merupakan pengembara ilmu yang bermukim dipondok atau asrama dibawah asuhan sang kiai atau tuan guru untuk mendalami aneka ilmu-ilmu keislaman yang bersumber pada kitab-kitab kuning karangan para 'Ulama terkemuka. Selain itu, santri akan membiasakan diri hidup dalam sikap kemandirian dan perjuangan. Kemandirian santri tercermin dari bagaimana mereka mengorganisir segala kebutuhan sehari-hari. Adapun perjuangannya Termaktub pada misi yang akan diemban kelak sebagai "waratsatul anbiya" ditengah masyarakat.
Mewiridkan dzikir Zelfbestuur.
Ungkapan proklamasi zelfbestuur dalam bentangan sejarah perjuangan kemerdekaan indonesia pertama kali dikumandangkan oleh Haji Oemar Said Tjokroaminoto sang guru bangsa. Syarikat Islam kala itu mengadakan vergadering atau rapat terbuka di alun-alun bandung yang dihadiri oleh ribuan anggota Syarikat Islam yang datang dari seluruh penjuru negeri dalam rangka mengkonsolidasi kekuatan masyarakat ditangan sang Joeng Oetama yaitu Haji Oemar Said Tjokroaminoto.
Dalam pidatonya, beliau dengan suara bariton serta lantang menggelorakan semangat Zelfbestuur atau pemerintahan sendiri, mengelola negeri "gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo (negeri yang memiliki kekayaan alam berlimpah, aman dan tentram)" tanah air pusaka kita. Beliau menyatakan spirit Zelfbestuur untuk menyadarkan semua rakyat atas kedzaliman sistemik yang telah dilakukan oleh bangsa imperialis belanda yang hanya bertujuan mengeksploitasi kekayaan negeri dan mendestruksi nilai-nilai kemanusiaan serta kebudayaan negeri kita.
Oleh karenanya, Sebagai generasi pelanjut bangsa maka jangan sampai ada tindakan menutup pendengaran kita atas seruan akbar yang dikumandangkan oleh Guru bangsa Haji Oemar Said Tjokroaminoto tentang spirit Zelfbestuur, agar terus menyala dibenak kita semuanya, tidak terkecuali bagi kaum sarungan, maka cara yang mentradisi di pesantren yaitu senantiasa istiqomah mewiridkan spirit Zelfbestuur di level "Qauli" (wacana) dan di next level Fi'li (praksis), baik di pesantren maupun di tengah masyarakat nantinya.
Kitab Zelfbestuur di Pesantren?
Menurut Gus Ishom Hadziq, cucu hadrotussyaikh K.H Hasyim Asy'ari tebuireng jombang, santri dalam proses katalisasi ilmu terbagi dalam tiga jalur. Pertama, tholabul 'ilmi bil kasbi yaitu dengan usaha mencurahkan daya fisik maupun fikir dalam menelaah suatu ilmu, kedua, tholabul 'ilmi bil hudhuri yaitu melafazkan amalan-amalan baik kalimat yang tersurat di dalam Al-Qur'an maupun lainnya, dengan mengamalkan itu secara konsisten, nanti akan dianugerahi ilmu langsung dari Allah SWT. Ketiga tholabul 'ilmi bitta'dzimi al-Ustadzi/syaikhi yaitu memusatkan diri dalam membantu kewajiban kiai atau tuan guru dalam rangka tabarruk atau keberkahan ilmu.
Kegiatan akademik di pesantren pun selain memiliki beragam epistemologi seperti yang didawuhkan oleh gus Ishom diatas, terdapat beberapa kitab utama yang harus dipahami secara sempurna seperti kitab tauhid, tajwib dan kitab-kitab fiqih lainnya. Pesantren juga ikut serta membina "caracter building" santri sebagai bekal perjuangannya dalam mengarungi badai tantangan zaman, sebab ranah perjuangan santri tidak terbatas dilingkup agama saja, dilingkup seperti ekonomi, budaya, lingkungan, pendidikan bahkan politik sekalipun tentu tidak menutup kemungkinan bagi santri mengambil peran strategis dalam memajukan bangsa ini.
Dalam hal lain, pesantren tidak hanya sebatas mengajarkan apa yang tersurat dilembaran-lembaran kitab yang disusun oleh para Ulama' sekaliber Imam Ghazali, melainkan ada kitab yang "hidup" berdampingan dengan santri selama ia berada di kawasan pesantren yaitu kitab Uswatun Hasanah, mata air keteladanan yang diaktualkan oleh sang Kiai atau Tuan guru. Salah satu "fashlun" atau bagian dalam kitab Uswatun hasanah ini adalah Fashlun Zelfbestuur itu sendiri yang artinya kemandirian yang berlandaskan pada nilai ketuhanan, persaudaraan, kedharmawanan dan persatuan sesuai dengan esensi yang terkandung dalam konsep sosialisme islam Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Figur kiai atau tuan guru sendiri tentu sangat paham sekali ilmu ketauhidan sebagai pondasi dalam beragama, dan keberadaan pesantren pula tidak terlepas dari pengorbanan harta dan jiwa secara ikhlas oleh kiai atau tuan guru. Di samping itu, budaya "ikhwah" persaudaraan dipesantren ditenun dengan sebaik-baiknya, pasalnya, Qur'an maupun sunnah memerintahakan kepada kaum beriman untuk mengeratkan tali persaudaraan, bahkan diilustrasikan dalam Qur'an seperti bangunan kokoh yang mustahil dihancurkan oleh siapapun.
Maka sangat nihil logis dan ahistoris apabila sejak dulu hingga sekarang sebagian masyarakat kita masih kukuh memberikan penilaian yang merendahkan bahkan menyudutkan pesantren yang dianggap gagap terhadap perubahan, eksklusif, non ilmiah dan terbelakang. Sudah saatnya stigma negatif itu harus di "hadzfun" atau dibuang jauh-jauh. Sebab hal demikian sangat bertentangan dengan fakta lapangan, apalagi perilaku demikian termasuk "su'ul adab" adab yang buruk terhadap para pewaris nabi.
Dengan demikian, mari kita berkontemplasi sejenak, Tidakkah kita perhatikan apa yang di fatwakan oleh Hadrotusyaikh K.H Hasyim Asy'ari tentang resolusi Jihad? Bukankah peristiwa akbar itu bagian dari mata rantai sejarah yang bersambung erat dengan peristiwa proklamasi Zelfbestuur oleh Sang guru bangsa Haji Oemar Said Tjokroaminoto?.