Pembatasan Pikiran dan Ancaman Kedaulatan Rakyat

David Putra Al Fatih

Sebagai Negara Demokrasi, kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Rakyatlah yang menjadi cikal bakal dibentuknya kebijakan (policy) di Negara Demokrasi ini. Konsep dasar tentang Negara Demokrasi diatur dalam Undang Undang Dasar 1945. Sebagai kekuatan untuk melegitimasi rakyat, Undang-Undang Dasar (UUD) memberikan ruang untuk masyarakat dalam setiap agenda pemerintahan, partisipasi masyarakat diatur dalam ketentuan perundangan (Baca: UU No 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundangan). Maka jelaslah, agenda-agenda pemerintahan harus melibatkan masyarakat dalam setiap pembentukan aturan dan kebijakan.

Dalam rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali memasukkan lagi pasal perlindungan terhadap presiden, mengajukan kembali Pasal 134, 136 bis dan 137 KUHP warisan kolonial untuk melindungi harkat dan martabat presiden. Padahal kita tahu bersama, sejak dikeluarkan putusan oleh Mahkamah Konstitusi No 013_022/PUU_IV/2006 tentang dihapusnya Pasal 134, 136 bis dan 137 KUHP lama. Dalam putusan MK tersebut alasan yang paling krusial ialah pada ranah kepastian hukum dan pasal tersebut bisa menimbulkan interpretasi yang salah kaprah dan multitafsir sehingga itu di anggap melabrak ketentuan Pasal 28E UUD 1945.

Indonesia adalah negara yang berlandaskan pada hukum, hukumlah yang mengatur segala tingkah laku manusia baik kejahatan maupun pelanggaran. Sehingga kebijakan-kebijakan yang diambil harus sesuai dengan landasan hukum yang jelas, dan demi menghindari terjadi tumpang tindih dalam penegakannya. Konsep Negara demokrasi dewasa ini memberikan kebebasaan terhadap setiap warga negaranya dalam menyampaikan aspirasi terhadap setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Negara harus abstain dan tak boleh ikut campur dalam kebebasan berpendapat dan berekspresi. Sebagai supremasi hukum tertinggi maka perjanjian masyarakat (control social) adalah hal yang paling utama dalam menjalankam sistem kenegaraan kita hari ini.

Trias politika yang dirumuskan oleh Montesqiu dan dijalankan di negara ini adalah konsep dasar tentang pembagian kekuasaan antara Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Dalam pembagiaan kekuasaan tersebut diharapkan sistem pemerintahan menjalankan kewenangan masing-masingnya sesuai aturan Perundangan. Sehingga kesewenangan dalam kekuasaan itu terhindari (Abius of Power).

Kembali dalam persoalan pasal penghinaan presiden yang kontroversial. Di dalam Pasal 24C UUD 1945 mengatur tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan tugas dan fungsinya, yang salah satunya mempunyai kewenangan untuk melakukan pengujian terhadap Undang-Undang. Pasal penghinaan terhadap presiden diatur kembali dalam rumusan pasal KUHP baru. Dalam pasal 217,218 sampai pada 219 KUHP baru memuat materi yang hampir Sama dalam KUHP lama. Hanya saja dalam KUHP baru perbedaanya ada pada delik aduan dan delik umum. Di KUHP lama menggunakam delik umum, maka siapa saja berhak melaporkan atas dasar penghinaan terhadap presiden. Sementara di KUHP baru memakai delik sduan. Artinya, hanya Presiden dan Wakil Presidenlah yang berhak melaporkan secara tulisan maupun tidak tertulis.

KUHP baru hadir dengan konsep melindungi harkat dan martabat presiden dan wakil presiden sehingga terhindar dari segala penghinaan terhadap jabatan. Meski kita tahu bersama bahwa presiden itu hanyalah sebuah jabatan tidak memiliki harkat dan martabat, karena yang mempunyai harkat dan martabat ialah manusia. Maka, pembentukan KUHP baru ini selain dari pada melabrak UUD 1945, juga menampar wajah kepresidenan itu sendiri. Sederhananya, apakah sewajarnya seorang presiden melaporkan rakyatnya dalam hal menyampaikan pendapat di muka umum. Terlepas dari hal demikian, tentu kita tahu bersama instrumen hukum sekarang tergantung selera penguasa.

Tidak berakhir demikian, sejarah hadirnya pasal perlindungan penghinaan itu dimulai sejak masa Kerajaan Belanda yang pada saat itu perdana menterinya menjadi bagian dari sistem pemerintah. Sedangkan, raja dan ratu pada saat itu mempunyai hak istimewa (privelege)  digunakanlah pasal penghinaan terhadap raja untuk melindungi harkat dan martabat seorang raja. Sehingga oleh Indonesia ingin menerapkan pasal warisan kolonial tersebut.

Putusan Mahkamah Konstitusi membatalkan dan menghapuskan pasal penghinaan terhadap presiden tersebut sudah tepat. Mahkamah berpendapat, Indonesia sebagai suatu negara hukum yang demokratis, berbentuk republik, dan berkedaulatan rakyat, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagaimana telah ditentukan dalam UUD NKRI 1945, tidak relevan lagi jika dalam KUHP masih memuat pasal-pasal seperti Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 yang menegaskan prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum.

Sehingga, dalam RUU KUHP yang merupakan upaya pembaharuan KUHP warisan kolonial juga harus tidak lagi memuat pasal-pasal yang isinya sama atau mirip dengan Pasal 134, Pasal 136 bis, an Pasal 137 KUHPidana. Terlebih lagi, ancaman pidana terhadap pelanggaran Pasal 134 paling lama enam tahun penjara dapat dipergunakan untuk menghambat proses demokrasi khususnya akses bagi jabatan-jabatan publik yang mensyaratkan seseorang tidak pernah dikum karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Seperti yang kita tahu bersama, bahwa putusan MK tersebut bersifat final and banding, artinya berlaku sejak ditetapkan dan mengikat bagi seluruh masyarakat.

Penyusunan konsep KUHP baru dilatarbelakangi oleh kebutuhan dan tuntutan nasional untuk melakukan pembaharuan dan sekaligus perubahan atau penggantian KUHP lama (Wetboek van Strafrecht) warisan zaman kolonial Belanda. Jadi, berkaitan erat dengan ide “Penal Reform” (pembaharuan hukum pidana) yang hakikatnya adalah juga merupakan bagian dari ide yang lebih,  yaitu pembangunan/pembaharuan (sistem) hukum nasional. Upaya melakukan pembaharuan hukum pidana (Penal Reform) termasuk bidang kebijakan hukum pidana (Penal Policy) yang merupakan bagi dan terkait erat dengan law enforcement policy, criminal policy, dan social policy. Maka sudah jelaslah jika merujuk pada teori kebijakan hukum pidana. Bahwa muara akhir dari langkah pembaharuan/pembangunan sistem hukum pidana iyalah upaya untuk memberikan kesejahteraan pada masyarakat sehingga terciptanya suatu kebijakan dan nilai sebagai norma yang hidup di masyarakat.

Tujuan hukum yang sesuai dengan semangat dan jiwa Pancasila adalah perdamaian untuk semua pihak (justice for peace of all) tanpa kecuali. Tujuan hukum berdasarkan UUD NKRI 1945 adalah kepastian hukum yang adil (Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945) dalam wadah musyawarah mufakat. Intinya, perdamaian lebih utama dari persengketaan karena yang terakhir dalam kenyataannya sering tidak menumbuhkan semangat kebersamaan dalam keadilan.

Karakter dan arah polik hukum pidana nasional berdasarkan tujuan hukum adalah perdamaian. Karakter dan arah polik hukum pidana tersebut hanya dapat dicapai jika hukum pidana Indonesia bersifat responsif (res sive law) dengan tujuan keadilan restoratif, karena dapat menjamin proteksi pemulihan hak asasi manusia dibandingkan melalui hukum yang retributif sering efektif untuk menemukan kambing hitam (apegoat) dari suatu perkara pidana, sedangkan hukum yang responsif dengan tujuan restoratif merupakan sarana efektif dan investasi yang berguna untuk kepatuhan masyarakat terhadap hukum.

Pemerintah dan DPR tidak mempunyai argumentasi hukum yang kuat untuk menghidupkan kembali delik penghinaan terhadap presiden/wakil presiden, terutama dalam hal mempersonifikasikan presiden/wakil presiden dengan negara. Karena menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006, presiden dan wakil presiden tidak boleh mendapatkan perlakuan privilege, hukum secara diskriminatif berbeda dengan kedudukan rakyat banyak selaku pemegang kedaulatan tertinggi. Pembatasan yang dilakukan oleh negara kepada warga negaranya dalam menyampaikan pendapat harus sangat hati-hati, karena negara membatasi hak asasi manusia yang merupakan hak sipil, yaitu hak asasi manusia dalam menyampaikan pendapat. Hak tersebut dimaknai sebagai kebebasan individu dan tidak ada campur tangan orang lain, khususnya negara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *