Oleh Hendra Jaya
“Pendidikan merupakan senjata paling ampuh yang dapat digunakan untuk mengubah dunia,” begitu kata Nelson Mandela yang terkenal. Kemudian Friere dalam tulisannya menyebutkan pendidikan ialah sarana untuk mencapai kemerdekaan sejati. Dua tokoh pendidikan dunia itu sudah cukup untuk mewakili ekspresi, betapa pentingnya pendidikan bagi peradaban.
Kita telah banyak menyaksikan rangkaian pola defensif dari seluruh negara dalam menghadapi Covid-19 yang secara tiba-tiba mengancam semua lini kehidupan manusia. Kebijakan segera diambil pemangku kuasa untuk menghalau semakin besarnya dampak, mulai dari lockdown area, hingga akhir-akhir ini berhasil ditemukannya vaksin dengan beragam jenis yang dianggap ampuh untuk “mengebiri” perlintasan penyebaran covid-19.
Selain ekonomi dan kesehatan, pendidikan adalah bagian peradaban yang telah hancur lebur terkena dampak virus, sehingga “dipaksa” untuk beradaptasi secara radikal agar tetap mampu melaksanakan kerja-kerja peradaban (belajar-mengajar). Salah adaptasi radikal itu ialah meniadakan belajar mengajar secara tatap muka, dan menggantinya dengan sistem sekolah virtual, yang kini dipraktikkan di seluruh dunia agar pendidikan tetap bisa berjalan.
Tentu, perubahan radikal ini punya konsekuensi radikal pula bagi keberhasilan agenda pendidikan itu, yang kini semakin terlihat nyata, yaitu tersumbatnya proses transfer nilai dari guru ke murid, sebuah kegagalan mendasar pendidikan. Kegegalan ini tidak boleh dibiarkan dan mendesak ditemukan solusi praksisnya.
Tentu kita perlu lebih serius lagi mengevaluasi perkembangan dari sistem sekolah virtual yang menjadi kebijakan nasional ini. Beragam penelitian lapangan telah mengelaborasi dan mengevaluasi Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) ini, terlepas dari efek positif yang ditimbulkan seperti terjadinya akselerasi literasi digital baik bagi pendidik maupun pembelajar.
Namun, di sisi lain sangat memungkinkan bagi masyarakat yang masih dalam keterbatasan sarana prasarana teknologi akan mengalami ketertinggalan bahkan ketidakpastian selama pendidikan tetep berlangsung dengan sekolah virtual ini. Oleh karenanya harus dikaji jalan terbaik agar pendidikan senantiasa memayungi semua anak bangsa tanpa terkecuali.
Maka sejatinya sangat baik sekali jika ada keterbukaan baik dari lembaga pendidikan maupun non lembaga pendidikan untuk berkolaborasi dalam memajukan dan memastikan bahwa pendidikan dapat dirasakan oleh semua dan untuk semua.
Sejauh pengamatan, ada beberapa keuntungan dari pembelajaran daring, pertama kemudahan pembelajaran jarak jauh. Kemudian selain hal tersebut, selama covid, terhitung biaya kuliah lebih rendah dibandingkan sebelum covid-19.
Namun, berangkat dari kelebihan tersebut, pembelanjaran menyisakan banyak kekurangan juga. Pertama, secara geografis Indonesia terdiri dari pulau-pulau dan ada 34 provinsi. Selanjutnya, disetiap provinsi tidak semua memiliki struktur dan infrastruktur yang memadai untuk pembelajaran daring. Masih banyak wilayah di Indonesia yang belum memiliki internet, atau tidak mampu menggunakan internet, dan permasalahan lainnya.
Kemudian, manusia dibangun dan dibentuk dengan jarak dan hanya bertatap melalui layar handphone atau laptop masing-masing. Nilai-nilai kemanusiaan menjadi hilang, manusia memiliki ketergantungan tinggi terhadap teknologi.
Terakhir, pendidikan tidak hanya mengenai proses belajar mengajar, transfer pengetahuan atau ilmu. Namun paling pokok ialah bagaimana nilai-nilai mampu tersampaikan dengan baik, sehingga proses memanusiakan manusia benar-benar terjadi. Sayangnya, sejauh pengamatan penulis, proses ini mengalami keterlambatan akibat pembelanjaran daring. Kegagalan ini mengakibatkan banyak manusia menjadi pribadi yang tidak memiliki nilai dan terjadinya “Inkubasi spirit generasi muda”.
Tidak dipungkiri bahwa pendidikan merupakan salah satu “vaksin” mutlak untuk menyiapkan generasi muda yang religius, berkebangsaan dan berpihak pada kaum mustad’afin. Hingga, untuk menyelamatkan negeri yang tengah dalam kegaduhan, pemuda harus dibekali dengan ilmu dan pendidikan yang jelas.