Koranpeneleh.id- Dalam kesempatan menjadi narasumber webinar yang diadakan oleh Yayasan Peneleh Jang Oetama bertajuk “Agama, Pancasila, dan Kebudayaan: Agenda Menyelamatkan Lingkungan Hidup” (5/6/2021), Prof Gatot menyinggung dua paham yang sangat berpengaruh dalam pembentukan kebijakan pemerintah terkait lingkungan hidup.
Dua paham yang dimaksud yaitu antroposentrisme dan biosentrisme. Keduanya sangat bertolak belakang. Ketika antroposentrisme berpaham bahwa manusia adalah pusat dari semesta alam, dan memiliki hak penuh atasnya, biosentrisme mengajarkan bahwa manusia dan alam bukanlah satuan yang terpisah, keduanya memiliki nilai yang perlu diberlakukan secara moral.
“Dua ini sangat mempengaruhi betul regulasi kita, katakanlah sekarang seperti Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, UU Lingkungan Hidup, dan lain-lain. Kembali pada konsep pembangunan berkelanjutan itu, bahwa antara mana yang lebih dikedepankan pertimbangan ekologi atau pertimbangan ekonomi? Dengan ini terjadilah tarik menarik, sehingga ini menjadi satu diskusi yang tidak pernah putus, baik di level akademik maupun pemangku kebijakan. Nah, disinyalir bahwa UU Cipta Kerja itu semangat ekologi investasinya begitu dominan, sehingga bisa mempengaruhi pertimbangan-pertimbangan lainnya,” paparnya.
Selaras dengan itu, Ir. Hidayat, selaku Sekretaris Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam MUI Pusat juga menyinggung tentang kenyataan bahwa etika yang berada di atas kebenaran ilmu pengetahuan telah merosot tajam. “Alhasil pengelolaan sumber daya alam hampir selalu melahirkan konflik, memperbesar kesenjangan serta merusak lingkungan hidup. Jika sudah seperti ini, memperbaiki etika tak cukup hanya imbauan-imbauan, tetapi saat melalui gerakan sosial,” tuturnya.
Dalam webinar yang juga menghadirkan akademisi, budayawan, dan pemerhati lingkungan hidup ini, Prof. Gatot menjelaskan perbedaan antara dua paham yang dia maksud. “Mindset atau cara berpikir ini sangat berpengaruh terhadap kondisi lingkungan di dunia. Justifikasi antroposentrisme baik melalui dalil, norma, maupun doktrin dibuat sedemikian rupa agar manusia itu bisa leluasa mengeksploitasi sumber daya alam untuk kepentingan manusia. Etika ini sangat berbeda dengan paham biosentrisme, yakni tidak benar bahwa hanya manusia yang mempunyai nilai. Alam pun mempunyai nilai pada dirinya sendiri, lepas dari kepentingan manusia. Alam perlu diperlakukan secara moral, terlepas ia bernilai bagi manusia atau tidak,” jelasnya kepada 300 peserta webinar.
Webinar yang berlangsung hampir 5 jam ini dihadiri oleh 300 peserta dari berbagai kalangan, baik mahasiswa maupun umum. Antusiasme peserta pun sangat tinggi, hal ini dapat dilihat dari banyaknya pertanyaan yang diajukan. Salah satu peserta asal Politeknik Negeri Malang, Rika Agatha Porotea mengungkapkan alasannya mengikuti webinar ini. “Saya ingin lebih tahu dan menerapkan dalam kehidupan tentang lingkungan hidup yang lebih baik.” Menurutnya, penyelamatan lingkungan hidup haruslah dimulai dari kesadaran dari masing-masing individu. (Me/Red)