Membicarakan lebaran-sebuah momentum pasca melaksanakan ibadah puasa selama sebulan-pastinya tidak bisa lepas dari budaya di masing-masing daerah. Indonesia memiliki banyak suku, ras, budaya, dan adat istiadat. Maka, tulisan kali ini akan membahas tentang telaah kebudayaan di salah satu wilayah dari Indonesia.
Yakni, Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat. Ada tiga suku yang muncul di bagian tenggara Indonesia ini, yaitu Sasak, Samawa, dan Mbojo yang biasa disingkat SASAMBO. Namun kali ini saya akan lebih fokus pada pulau Lombok dengan suku Sasaknya.
Lebaran memiliki rangkaian acara, baik melihat dari panduan yang di titahkan dalam Al-Quran maupun sampai dengan Ijma’ para ulama. Namun, selebihnya dari itu jelas ada rangkaian tambahan muncul dari adanya kesepakatan masyarakat (adat istiadat yang muncul dari kesepakatan hingga paten dilaksanakan).
Di Lombok sendiri, selesainya solat dan khutbah solat Ied akan dilanjutkan dengan menikmati makanan besar-besaran yang disediakan setiap rumah jamaah sekitar masjid. Makanan yang disediakan disini tidak sedikit. Ada rasa tidak sempurna secara personal jika salah satu rumah tidak menyuguhkan makanan yang besar dan banyak di sebuah nare (nampan lebar). Makanan yang disediakan sampai melebihi 3 tumpukan piring, bahkan bisa lebih.
Itu tadi salah satu keunikan yang dapat saya simpulkan. Akan tetapi yang sangat kentara muncul sebagai satu kebudayaan di momen lebaran pada masyarakat Lombok adalah pasca lebarannya. Tradisi ini disebut lebaran topat atau lebaran nine (perempuan).
Pelaksanaanya dilaksanakan satu pekan setelah lebaran Idul Fitri. Menurut penelusuran saya, puasa 6 hari itu, utamanya diperuntukan perempuan. Sebab, kebanyakan yang menjalankannya adalah perempuan. Kemudian, juga sebagai momentum memberikan persembahan doa bagi para pejuang penyebar agama kala dulu.
Keunikannya juga terletak pada ketupat yang disusun menjulang mengerucut tinggi dan diarak mengelilingi lokasi acara. Yang mana biasanya di pantai, seperti Senggigi, Batu Layar, dan yang laiinya, utamanya di Lombok Barat.
Gunungan yang dipikul oleh salah satu tim yang beranggotakan laki-laki semua ini, diarak menyusuri lokasi acara hingga menghadap bupati, tokoh daerah, dan tokoh adat. Lalu, satu ketupat pertama -dalam bahasa sasak penembe’ atau sebagai pesaji (makanan hidangan/ persembahan) utama- diberikan kepada mereka. Selepas itu baru diarak menuju masyarakat besar guna dibagikan, maka sampailah pada akhir acara yakni makan-makan ketupat bersama hingga rekreasi bersama.
Mengutip pesan Muhaimin, seorang tokoh budayawan Lombok yang disampaikan dalam kanal Hariannusa.com, pesan yang terkandung dari tradisi ini adalah;
Pertama, adanya satu nilai peduli masyarakat melihat adanya keistimewaan bagi perempuan, mengingat yang melaksanakan puasa sunnah 6 hari ini kebanyakan adalah perempuan. Nah, lebaran nine ini untuk merayakannya.
Kedua, adalah implementasi habluminallah (hubungan manusia dengan Tuhan) yang diwujudkan dalam ziarah dan doa di makam besar, dan juga hablumminannas (hubungan manusia dengan manusia) yang tergambar pada silaturahmi saat dilaksanakannya tradisi tersebut. (Alwi/Red)