Oleh : Anik Meilinda
Pernahkah kalian menjadi korban tindak kriminal? Atau jangan-jangan menjadi pelaku tindak kriminal? Sebelum menjawabnya, mari kita cari tahu pengertiannya dahulu. Menurut Kartono (1999), Kriminalitas atau yang biasa disebut kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan, merugikan masyarakat dan melanggar hukum pidana.
Bentuk-bentuk kriminalitas yang dilakukan pun sangat beragam. Menurut Badan Pusat Statistik, kriminalitas dapat diklasifikasikan menjadi 8, yaitu kejahatan terhadap nyawa, terhadap kesusilaan, terhadap kemerdekaan orang, terhadap hak/barang dengan penggunaan kekerasan, terhadap hak milik/barang, terkait narkotika, dan kejahatan terkait penipuan, penggelapan, dan korupsi.
Kriminalitas di Indonesia masih banyak terjadi, tuntutan kebutuhan hidup dan kondisi lingkungan menjadi penyebab seseorang atau sekelompok orang melakukan kriminalitas. Pada umumnya kriminalitas banyak dipengaruhi oleh kondisi ekonomi dan taraf pendidikan.
Keterkaitan antara kemiskinan dan kriminalitas pernah diteliti oleh Tang (2015) di Malaysia, ternyata ada pengaruh secara positif dan signifikan dalam jangka panjang maupun jangka pendek, perihal kemiskinan sangat mempengaruhi tindakan kejahatan. Faktanya, individu yang terhimpit kebutuhan hidup atau serba kekurangan, dalam hal ini adalah orang miskin, terdorong untuk melakukan tindakan pencurian, sehingga tingkat kemiskinan yang tumbuh positif mendorong seseorang melakukan tindak kriminal.
Jika ditinjau melalui kacamata Islam, Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Abu Na’im:
كَدَ الفَقْرُ أَنْ يَكُوْنَ مُفْرًا
Artinya: “Kemiskinan itu dekat kepada kekufuran.”
Disadur dari nuonline.com, setidaknya hadits itu memiliki tiga makna. Pertama, orang-orang miskin harus hati-hati. Hal ini disebabkan oleh hidupnya yang serba kekurangan dapat menggodanya melakukan kemaksiatan guna memenuhi kebutuhan kehidupannya. Banyak orang miskin yang karena ketidakberdayaannya secara ekonomi dan ketidakkenalannya kepada Tuhan, yang akhirnya pindah agama karena iming-iming kesejahteraan ekonomi dari agama lain tersebut.
Kedua, sebagai peringatan kepada orang kaya, bahwa kemiskinan yang dialami saudara-saudaranya yang kekurangan dapat mendorongnya kepada kekufuran. Makanya, orang-orang yang kaya atau hidup berkecukupan seharusnya bersyukur dan terlebih peka, lalu mengulurkan tangannya untuk membantu mereka yang membutuhkan.
Ketiga, sebenarnya kemiskinan yang dimaksud ada 2 hal, yaitu miskin materi dan spiritual. Bisa jadi, mereka yang dilimpahi kekayaan materi adalah mereka yang miskin secara spiritual. Sehingga, cara yang mereka tempuh untuk mendapatkan kekayaan adalah cara yang bathil, contohnya korupsi uang rakyat. Jadi, mereka yang seperti itu adalah golongan yang miskin bukan karena harta, melainkan karena kurangnya iman kepada Tuhan.
Selalu digaungkan, bahwa pendidikan seharusnya tak hanya menyentuh fisik dan akal, melainkan nurani dan rasa. Dalam Kitab Bidayatul Hidayah karya Imam Ghazali dijelaskan, Rasulullah SAW mengingatkan:
من ازداد علما ولم يزدد هدى لم يزدد من الله إلا بعدا
Artinya : “Barang siapa bertambah ilmunya dan tidak bertambah hidayah, niscaya ia tidak bertambah dekat dengan Allah, melainkan bertambah jauh.”
Artinya orang yang berilmu pun sangat dimungkinkan memiliki perangai yang buruk, dalam artian mereka memanfaatkan ilmu atau gelar akademisnya untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma dan akhlak.
Akan semakin bahaya, jika negeri ini dipenuhi oleh mereka yang miskin materi sekaligus miskin iman kepada Tuhan. Tak terbayangkan betapa hancurnya negeri ini, bila hal itu benar-benar terjadi. Jadi, sekiranya diperlukan model pendidikan yang tepat demi menciptakan generasi yang tak hanya berdaya guna, namun juga berbudi dan memiliki rasa takut kepada Tuhannya.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Nadiem Makarim telah mencanangkan pendidikan karakter yang berasaskan Pancasila dengan menelurkan beberapa kebijakan dan program. Seperti, dengan membuat penilaian di Kurikulum 13 dibagi menjadi penilaian sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Menurut penulis, yang dimaksud dengan pendidikan karakter adalah pendidikan akhlak dan moral itu sendiri. Nah, Nadhim dalam tribunnews.com mengungkapkan moralitas adalah prinsip-prinsip dasar hidup, prinsip-prinsip dasar cara berinteraksi dengan sesama manusia, prinsip dasar cara berinteraksi antar organisasi dan institusi. Menurutnya, selama ini, penanaman nilai akhlak berasaskan Pancasila hanya direpresentasikan dengan menghafalkan butir-butir Pancasila saja, minim pengamalan atau pengaplikasiannya.
Penerapan nilai-nilai ini tentu saja membutuhkan banyak dukungan. Tidak hanya menjadi tanggung jawab pihak sekolah, namun dukungan orang tua, lingkungan, stakeholder setempat, dan utamanya pemerintah sangat dibutuhkan. Hal ini mengingat, karakter yang baik tidak bisa diciptakan dalam semalam selayaknya Bandung Bondowoso mendirikan candi Borobudur untuk Roro Jonggrang. Dibutuhkan ketelatenan, aksi, dan contoh nyata. Bayangkan saja, jika seorang guru atau bahkan orang tua hanya bisa JARKONI (Iso ujar ra iso nglakoni). Naudzubillahimindzalik
Tentunya, tidak ada yang tidak mungkin jika kita mau bergerak dan berusaha. Pembentukan karakter bukanlah hal yang mudah dan cukup sekali dipelajari. Semoga kita termasuk pada golongan-golongan manusia yang senantiasa mau belajar dan mengambil pelajaran. Sebagai generasi bangsa yang telah tersadarkan, hendaklah kita memulai dari diri sendiri, menanamkan dalam diri pentingnya adab dalam kehidupan, dan senantiasa meluruskan niat, bahwa apa-apa yang kita lakukan, tidak lain tidak bukan hanya untuk Allah SWT (lillahita’ala).
Harapan untuk menjadi Indonesia yang memiliki sumber daya manusia yang memiliki wawasan kebangsaan, berketuhanan, berkualitas, dan berbudi senantiasa tergumam di setiap doa. Dengan terwujudnya SDM seperti di atas, dijamin tindak kriminalitas akan menurun, dan kesejahteraan masyarakatnya pun akan meningkat.