Liang Bukal (Gua Kelelawar) merupakan salah satu dari dua goa yang ada Batu Tering. Sebagaimana namanya, Liang Bukal merupakan tempat berteduh kelelawar. Tidak jauh dari Liang Bukal terdapat tempat yang penuh sejarah dan tidak bisa dipisahkan dengan tana Samawa, Liang Petang namanya.
Liang Petang merupakan tempat berteduh tujuh mubaligh Islam pertama di tana Samawa. Dalam wasiat renungan masa Maulana Syaikh, beliau ceritakan:
Di Liang Petang di Moyohulu
Tujuh mubaligh bermakam di situ
Penebar Islam zaman dahulu
Awal terbuka daerah Dompu
Yaitu: Ali Fatah Badawi
Dan Harun Zain Abu Bakar Husni
Dan Firdaus ‘Tmran Aalu Syahabi
Amir Hajjaj Muhammad All Akbari
(Renungan Masa: Bait ke 38-39)
Tujuh nama dalam syair tersebut merupakan mubaligh pertama penyebar Islam di tana Samawa. Menurut penuturan salah satu santri Anjani, tujuh mubaligh tersebut berkumpul di Liang Petang untuk mengatur syiasah da’wah. Kemudian mereka menyebar ke seluruh tanah Samawa, kiri kanan hingga atas untuk menyampaikan da’wah dan membangun peradaban oetama di tana Samawa, sebagaimana diceritakan dalam syair no 40.
Di desa batu tering sendiri, sebagaimana kepercayaan masyarakat setempat, ada satu makam yang dipercaya sebagai makam salah satu dari tujuh mubaligh, mereka menyebutnya sebagai makam Dea Syaikh. Dahulu, muassis pancor kerap berziaroh ke makam ini sebelum Ramadhan. Adapun 6 makam yang lain, sampai saat ini tidak diketahui secara pasti tempatnya. Walau ada tesis yang mengatakan bahwa penyebaran ada yang ke Bima (kiri), Moyo Hilir (kanan) dan Tepal (atas), sehingga kemungkinan besar ada makam mubalig Islam pertama di daerah tersebut.
Namun, karena kehilangan jejak sejarah, sehingga sulit untuk melacak secara pasti. Salah satu tokoh pemuda Desa Batu Tering mengakui bahwa generasi muda tidak mendapat kembali sejarah-sejarah tersebut.
Ziarah masa lalu merupakan keharusan yang harus dilakukan oleh generasi muda saat ini. Karena sangat mudah untuk menghancurkan generasi, cukup dengan memisahkan kehidupan mereka dengan sejarah nenek moyangnya.
Begitupula jika berbicara keadilan, belajar dan merefleksikan sejarah merupakan keharusan. Melihat bagaimana mubaligh menghadirkan kesetaraan dan keadilan, menyaksikan bagaimana pendiri bangsa menghadirkan kepedulian tanpa memandang bulu.
Pun dalam pendidikan, ekonomis, sosial, politik & kebudayaan, kita perlu bercengkrama dengan sejarah agar keadilan benar-benar hadir. Tidak seperti saat ini, pendidikan didominasi oleh mereka yang mampu secara finansial, yang tidak mampu hanya bisa menjadi penonton. Ekonomi pun sudah dikuasi oleh gurita kapitalis dan para pengusa, yang lemah hanya bisa berharap kesejahteraan.
Dalam konteks politik masyarakat biasa tidak bisa menembus beton yang telah dibuat oleh pemodal dan penguasa.
Rakyat biasa tanpa kuasa dan biaya, tidak punya harapan setara dalam memperoleh kesempatan pendidikan, kebebasan politik, akses ekonomi, keadilan hukum, dan kebebasan ekspresi. Sebab, penguasa dan pengusaha telah berselingkuh membentuk jejaring benteng besi-beton, pembatas dan penyekat melalui rekayasa regulasi, agar segala sumber daya mudah mereka nikmati sendiri.
Maka, belajar dari sejarah sebagaimana yang terdapat di Batu Tering merupakan salah satu kunci untuk mewujudkan keadilan di tana Samawa & Indonesia.
Aset-aset tana Samawa mulai dari wisata alam, peninggalan sejarah, hingga hal-hal tentang Islam & Sumbawa perlu dirawat dengan baik.
Hal ini perlu dilakukan oleh pemuda, sebagai bentuk tanggung jawab kepada generasi berikutnya. Begitupula dengan orang tua memiliki kewajiban untuk mewariskan sejarah sebagai bahan refleksi pemuda untuk mengkonstruksi masa depan Samawa.
Pemerintah pun harusnya memiliki andil besar dalam menjaga aset-aset di Sumbawa, tentu tidak hanya dimuseumkan, namun lebih jauh dari itu, pemerintah harus mulai memikirkan sejarah tana Samawa masuk dalam kurikulum pendidikan formal di Sumbawa. Sehingga orang Sumbawa tidak akan kehilangan jangkarnya!