Refleksi 15 Tahun Ditetapkannya Hari Peduli Sampah Nasional

Anik Meilinda

Enam belas tahun lalu, tepatnya pada 21 Februari, gunungan sampah setinggi 60 meter di TPA Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat mengalami longsor yang diakibatkan oleh hujan deras dan ledakan gas metan. Dikutip dari liputan6.com (21/2/2021), bencana itu menewaskan 157 korban jiwa dan menimbun 2 kampung yaitu Kampung Cilimus dan Kampung Pojok. Setahun kemudian, insiden itu diperingati sebagai Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN).

Apakah setelah kejadian nahas itu, pemerintah mulai membenahi sistem tata kelola persampahan Indonesia? Tentu saja jawabannya ada. Seperti lahirnya Undang-Undang No. 18 tahun 2008 dan Peraturan Pemerintah No. 81/2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sejenis Rumah Tangga untuk mewujudkan pengelolaan sampah. UU ini mengatur tentang aspek sosial budaya, bahwa masyarakat harus mulai mengurangi, memilah, dan mendaur ulang sampahnya.

Selain itu, ditetapkannya Peraturan Presiden (Perpres) nomor 35 tahun 2018 tentang “Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan” sebagai solusi meningkat dan membludaknya produksi sampah. Teknologi PLTSa ini mulai digarap di 12 kabupaten/kota sejak 2019 hingga 2022 mendatang.

Di dalam aturan tersebut, pemerintah daerah (Pemda) bisa menugaskan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), atau swasta untuk membangun PLTSa dan nanti akan mendapatkan bantuan Biaya Layanan Pengolahan Sampah (BLPS) kepada Pemda maksimal Rp500.000 per ton sampah.

Namun, harapan PLTSa dapat mengatasi produksi sampah yang terus meningkat tak ayalnya sebuah jalan terjal, mengingat berbagai kendala yang terjadi di lapangan tidak sesederhana menyingkirkan kerikil di jalanan aspal.  Direktur Bioenergi, Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi, Andriah Feby Misna mengungkapkan kepada finance.detik.com (20/1/2021), penerapan Perpres nomor 35 tahun 2018 belum berjalan maksimal, mengingat ada banyak tantangan yang dihadapi permerintah daerah. Di antaranya keterbatasan lahan dan daya tampung TPA, keterbatasan anggaran pengolahan sampah, peningkatan produksi sampah  yang belum mampu teratasi dan pengelolaan sampah belum menjadi prioritas utama Pemerintah Kabupaten/Kota. “Oleh karenanya diperlukan intervensi oleh Pemerintah dalam pengelolaan sampah,” lanjutnya.

Lebih lanjut, bahkan Andriah mengusulkan adanya revisi Perpres, “Diperlukan opsi teknologi lain atau breakthrough sebagai solusi pengolahan sampah yang efektif, efisien dan tidak memberatkan APBN/APBD. Mungkin bisa kita usulkan beberapa perubahan pada Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 dengan melihat evaluasi dari 12 kota yang ada saat ini.”

Selain perihal banyaknya kendala yang terjadi di lapangan, pro dan kontra tentang dampak yang ditimbulkan PLTSa pun mengiringi. Seperti ketakukan terhadap gas emisi yang akan dilepas ke udara. Apakah aman atau tidak? Lalu ancaman budaya nyampah yang akan merajalela karena menganggap sampah yang dihasilkan akan menguntungkan karena akan diolah menjadi listrik.

Konsep zero waste dipandang menjadi angin segar bagi permasalahan ini. Menurut Ayu Septiani, founder @lowwasteforbeginner, zero waste adalah konsep yang bertujuan mempromosikan daur ulang dan penggunaan kembali sumber daya sehingga tidak ada limbah yang dihasilkan. Konsep ini diuraikan pada 3R (Reduce, Reuse, Recycle).

Tetapi, paradigma pengolahan sampah mulai berkembang dan melahirkan paradigma baru. Dalam hirarki pengolahan sampah, produksi sampah harus diminimalisir dalulu atau prevention (pencegahan). Sebisa mungkin kita beralih dari barang yang berpotensi menjadi sampah, seperti membeli makanan yang double atau triple packaging. Pilihlah yang setidaknya satu lapis plastik saja.

Konsep reduce (pengurangan) kalau tadinya membeli air mineral yang berbotol plastik, beralih menjadi membawa tumblr sendiri dari rumah. Reuse, bisa dilakukan dengan cara membawa kantong belanja sendiri. Setidaknya kita bisa menghemat platik kresek. Recycle (daur ulang), dengan menggunakan botol bekas sebagai pot bunga, mengumpulkan plastik bungkus snack menjadi ecobrick, dan lain sebagainya.

Mengatasi persampahan duniawi memanglah sangat kompleks dan tentu saja tidak mudah. Diperlukan sinergitas dan komitmen yang kuat antara pemerintah, stake holder setempat, komunitas, dan utamanya kesadaran masyarakat tentang pentingnya bijak dalam mengelola sampahnya sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *