
Nashrudin Latif
Silaturahim menumbuhkan kesadaran kolektif. Kesadaran yang digugah sebab ketidaksadarannya tengah mendera pada entitas yang menubuh. Entitas lupa bernama aku atau kita sebagai manusia, dalam mengemban amanah kehidupan. Perjalanan yang dimulai dari alam suwung rahim, tumbuh bersama semesta menuju kehidupan “bertemu” pencipta-Nya. Siklus proses yang dijalani menampakkan dinamika turun naik yang mengganggu stabilitas ritme, namun juga menciptakan kekuatan tersendiri untuk menyeimbangkannya secara istiqomah pada jalur yang tepat. Kesadaran dan ketidaksadaran menjadi dua sisi keniscayaan untuk dimainkan secara holistik sebab keduanya memberi pesan berdampak saling membutuhkan dan melengkapi.
Kolektivitas dibangun dengan membersamai entitas yang sama dan berbeda baik sudut pandang maupun aksi. Kemampuan mengenali persamaan atau perbedaan membutuhkan empati dan apresiasi. Keduanya memantik hasrat diri untuk lebih dulu menempatkan pada pengetahuan dirinya (ke dalam) dan menariknya keluar dalam melihat realitas/liyan yang ada, atau sebaliknya yang di luar mampu menggugah sebagai cermin diri. Namun tanpa disadari, stimulan yang terjadi terlambat bahkan bergerak cepat memengaruhi respon panca indera, akal dan batin. Daya potensial kritis, rasional, gerak bahkan intuitif diunggah untuk menggoyang kesadaran.
Meretas potensi diri baik sendiri maupun jama’ah dapat membangun peta jalan kembali pulang. Jalan yang mengingatkan sebuah janji yang tanpa disadari kembali oleh pelakunya sendiri, ikrar sebelum terlahir antara dirinya dan Penciptanya. Bahwa ia mengakui sepenuhnya siapa Tuhannya, menerima amanah kehidupan yang bahkan makhluk lain pun enggan menampungnya, dan mengerti dengan jelas atas jawaban siapa dirinya, mengapa ia dipilih dan bagaimana menjalani kehidupan. Titik awal pendidikan yang membutuhkan upgrading dalam kontemplasi dan refleksi mandiri atau kolektif untuk saling mengingatkan dan mengajak pada equilibrium fitrahnya.
Keseimbangan sebagai ‘abdillah dan khalifatullah berpotensi menjadi pribadi rahmatan lil ‘alamiin. Menempatkan ‘abdillah pada posisi hubungan vertikal antara hamba yang terhubung dengan pencipta-Nya dan mengembangkan khalifatullah pada posisi hubungan horisontal sesama makhluk Tuhan. Korelasi psikologis keduanya menempatkan insan pada titik yang bersamaan, condong sebelah dan bahkan cenderung tidak pada keduanya. Titik kecenderungan yang dipilih membutuhkan proses penyadaran yang mendidik secara berkelanjutan. Proses yang digambarkan Rasulullah SAW sebagai rentangan garis lurus (titik awal menuju destinasi akhir) yang di tiap level vertikalnya melintang garis horisontal yang memotong/mereduksi atau justru menaikkan kelasnya. Dinamika daya ganggu tanpa henti membuat pilihan untuk terus bergerak, singgah sejenak atau selamanya dalam ranting cabang, bahkan malas dan pasrah atas keadaan.
Gerakan kebangunan lahir dari belajar dan berjuang, bukan datang secara tiban. Lalu dimana usaha kebangkitan itu harus dimulai? Dari semangat zaman (zeitgeist) yang menyadari urgensi fajar budi melalui pendidikan yang berkebudayaan. Budi pekerti (budi daya/budaya) dijadikan pondasi utama kebangkitan dan kemajuan. Salahsatunya dapat memulai kehidupan kemandirian diri (bukan self interest) secara aksi partisipatif mewujudkan terciptanya kemandirian pemerintahan (zelfbestuur). Gerakan kebangunan budi itu membutuhkan aktor yaitu kaum muda. Minoritas kreatif yang berani bergerak kemajuan memperjuangkan secara berkelanjutan dari keadaan marginal (ketertindasan, keterbelakangan, keterjajahan). Elan kreatif “ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” dibutuhkan untuk mengaktualisasikan potensi sumber daya yang melimpah. Perhatian yang tidak sebatas kesadaran diskursif namun perlu dikembangkan dalam strategi kebudayaan dalam tata nilai, tata kelola, dan tata sejahtera.
Lalu mengapa memulai rindu menata kembali? Menata tentang apa? Bagaimana menata dengan baik? Jika belum menemukannya maka bersyukur oleh sebab masih diberikannya anugerah mengkritisi sebagai syarat baik untuk tidak menelan mentah-mentah apapun yang tersaji bahkan mengkultuskannya dengan haqqul yaqin kecuali dianugerahi “ngerti sakdurungi winarah”. Namun jika masih gusar tentang apapun yang terpapar, maka bersabar menjadi pilihan, sebab di situlah nikmat Tuhan atas akal budi dan intuisi akan menuntun pemahaman jalan asyik penuh dzawqiyah.
Jika telah menemukannya, maka menetap pada kerendahan hati sebagai manusia pembelajar akan lebih baik atau justru opsi lainnya yaitu sebagai manusia fasilitator dalam aksi gempita praksisnya, tentu akan jauh lebih bermanfaat bagi diri dan liyan, bukan sekedar slogan yang tidak dipahami, yang dianggap sebagai fashion ketimbang praksis, dan bukan blue print untuk berkesadaran dan bertindak. Padahal tanpa disadari sekalipun, semua yang tengah berproses sejatinya buah skenario Ilahi dalam memanusiakan manusia untuk kembali melebihi Malaikat, Iblis, atau makhluk lainnya menuju fitrahnya, kecuali bagi cogito ergo sum agnostik-atheis yang akan serempak menolaknya.
Sidoarjo, 25 Januari 2021