Oleh: Nashrudin Latif
“..Dengan pertolongan Allah jang Maha Koesa, adalah kami sampaikan soembangan jang ta’ seberapa harganja, seperti jang berikoet: Bagi kita menosia jang biasa, oentoek mengenal dan mengetahoei harga kebaikannja sesoaetoe Igama, haroelah kita melihat, memandang dan memikirkan Igama itoe daripada tempat pendiriannja seorang peladjar jang mempergoenakan setadjam-tadjam fikirannja (critisch)..”
Selasa, sela selaning rasa (di sela batin), ada ndaras buku Memeriksai Alam Kebenaran karya H.O.S. Tjokroaminoto. Kegiatan yang mengingatkan saya jaman dulu di kala selepas maghrib, ndaras al qur’an di hadapan kyai dan teman-teman. Satu per satu huruf dibaca sekaligus memelajari artinya dengan huruf berbahasa Jawa bertuliskan Arab. Tentu diiringi tawa canda jika ada teman yang susah melafalkan bacaan dan menyimak kembali bila sang kyai berdehem. Aktivitas ndaras seperti pandulum, sejarah yang berulang, dengan cara lain pada materi yang dibaca dan dilakukan secara online baik zoom maupun youtube. Media yang mempertemukan pelajar dan guru dalam ruang yang berbeda secara virtual. Tentu membutuhkan kesadaran lebih untuk memastikan para murid menyimak kajian yang diberikan Guru tanpa harus berdehem mengingatkan. Apalagi teks yang dibaca ditulis dengan ejaan jaman tempoe doeloe. Menjadikan saya terbawa ke masa silam, saat HOS Tjokroaminoto tepat berdiri di hadapan, dan saya hanya bengong syahdu mendengar orasinya yang gegap gempita.
Bab pendahuluan dibacakan dengan melafalkan ejaan lama sesuai teks yang tertulis dengan seksama dan dalam tempo yang tidak sesingkat-singkatnya. Memahami tiap teks yang tersusun membutuhkan kemampuan interpretasi secara kritis, sebab ada struktur oximoron, seperti sumbangan yang tak berharga, namun mengupas harga kebaikan suatu agama dengan pikiran setajam melebihi silet.
Pembuka mengajak pelajar berfikir, tentu berbeda dengan pikiran Rasululllah SAW dan seorang Guru. Nabi Muhammad berkehidupan dengan pikiran, kelakuan dan perbuatannya berharmoni dengan tujuan yang dicita-citakannya dalam mendirikan Agama Islam dengan umatnya. Pun dengan Guru, yang menunjukkan ketinggian intelektualitasnya, keutamaan kelakuan, kedalaman pikiran dan perasaannya, dalam melakukan dakwahnya. Yang membedakan dengan pelajar, adalah anjuran menggunakan setajam pikirannya untuk menyatakan harga dan kebaikan agama Islam dengan menyisihkan sementara dulu anggapan kebenaran yang telah ditetapkan sebelumnya.
Kerja kritis tanpa terburu untuk menyesuaikannya dengan anasir yang luar biasa seperti wahyu Ilahi. Cara penyelidikan ilmu terhadap agama atas susunannya, bagaimana kekuatan riwayat yang membangunnya, riwayat peri kemanusiaannya, betapa kerasnya agama Islam menggerakkan ruh menyatukan umat untuk berubah dalam perkara sosial, budi pekerti dan politik serta lainnya. Ketajaman berpikir yang tidak hanya berhenti dalam menemukan kebenaran namun menggerakkan aksi atas temuannya secara istiqomah dalam menciptakan peradaban baru.
Akal menduduki peran vital sebagai alasan Tuhan menciptakannya, dipertanyakan malaikat dan diboikot iblis. Maka konteks pikiran, menjadi salah satu alat intelegensi manusia, selain indrawi, naluri, nurani dan intuisi, perlu dikembangkan. Uniknya, kehebatan pikiran tersebut memiliki kebebasan di satu sisi dan lainnya oleh Pak Tjokro diarahkan tetap pada kebebasannya dengan sementara menyisihkan anasir luar biasa (hal-hal transenden dalam intuisi). Bagaimana menempatkan secara adil porsi pikiran di satu sisi bebas (ilmu wetenschap) dan lainnya tidak diperkenankan lepas dari Wahyu Ilahi? Mental pikiran seperti apa yang perlu disiapkan?
Jika keadilan porsi dipertanyakan maka ada muatan dikotomi dalam menempatkan anugerah intelegensi yang bernama pikiran dengan lainnya. Akibatnya, pengkotakan yang dilakukan justru mengerdilkan upaya penyelidikan pelajar dengan tidak secara holistik. Seperti dua sisi keping mata uang, apakah hanya sisi berwajah orang saja dapat dikatakan media transaksi? Tentu, seperti kewajiban menunaikan zakat, adalah sebenarnya akumulasi atau penyatuan dua sisi yang berbeda. Sisi rasional yang mempertemukan dua orang, yang wajib memberi dan penerima zakat, fakta yang dapat terukur, dilihat dan dirasakan.
Namun, fakta tersebut mengajarkan juga sebuah pesan irrasional bahwa kegiatan rasional tersebut menghantarkan terpenuhinya atau diterimanya sesuatu yang abstrak yaitu nilai ibadah puasa sesuai perintah wahyu Ilahi. Dalam prosesnya, rasionalisasi menemukan hal yang irrasional atau sebaliknya, sehingga ketika mempertanyakan bahwa agama itu tidak rasional maka kita diajak pula untuk mempertanyakan dimana letak rasionalnya.
Menghilangkan salah satu di antara keduanya akan mereduksi kerja penyelidikan pikiran atas realitas yang dihadapi dengan apa adanya terlebih dahulu. Ada hak yang harus dipenuhi pikiran untuk melakukan kewajibannya sebelum membicarakan hal transenden melalui upaya menyisihkan terlebih dahulu anasir yang luar biasa, seperti wahyu Ilahi, malaikat dan lainnya dengan cara mengerti susunan dan rangkaian Islam sebagaimana adanya sesuai yang kita dapati.
Titik awal ndaras Memeriksai Alam Kebenaran bermula dari sela-sela ning rasa, kembali belajar memaknai karya agung HOS Tjokroaminoto, tentang perkara masih relevan tidaknya perlu pembuktian atau penyelidikan lebih lanjut menjadi cara bernalar. Benarkah kebenaran yang telah ditemukannya masih benar adanya sehingga upaya refleksi masih diperlukan?
Tentu uji fisikal hingga metafisika membutuhkan kesadaran dan pengetahuan yang lebih untuk tidak sekedar ikut-ikutan mengiyakan seperti bebek-bebek peradaban, perlu dilakukan kolaborasi dengan cara duduk bareng di tiap hari Selasa malam. Lalu apakah dengan duduk sendiri mampu mewujudkannya? Itu sebuah pilihan lain. Jika belum menemukan jawabnya, maka bersyukurlah bahwa setidaknya kita masih dimampukan untuk berpikir pada hal-hal yang esensial dari sekedar trending topic media massa hari ini.
Sidoarjo, 8 Desember 2020.