Jalan Oposisi

“Bagaimana engkau akan menemuinya, jika ia tidak menghendakinya?”

Jika dihamparkan sebuah negeri yang makmur, melimpah kekayaan alam dan luas daerahnya sepanjang mata melihat, maka dapat dipastikan akan menyukai dan menginginkannya, bahkan akan terkejut kegirangan jika dikabarkan bahwa apa yang ada adalah miliknya semata, mengindahkan sebab muasalnya. Hasrat memiliki martabat, harta dan ragam  yang mengitarinya bukti realitas yang dilihat oleh ketajaman Malaikat atas penciptaan manusia dengan kecenderungan merusak. Penglihatan yang tidak tertutup selubung nafsu, mewakili keindahan Tuhan, meneropong lebih jauh dengan pengamatan yang jernih. Pandangan atas realitas yang dibentuk dari cahaya pecinta sejati. Salah satu andilnya manusia serakah merusak ekosistem alam yang diatasnamakan kebutuhan ekonomi sampai saat ini berlangsung tanpa akhir, mengindahkan mutualisme simbiosis.

Memayu Hayuning Bawana-

Ilustrasi : Ibnu

Realitas kehidupan yang dilihat tidak selalu menunjukkan kemurnian. Fakta menempatkan seseorang menggunakan jubah kebesaran atau surban tidak menjadikannya otomatis dianggap sebagai raja atau cendekiawan seperti klasiknya cerita serigala berbulu domba. Menggunakan media apapun justru menampakkan citra atau personal branding yang tidak dapat mengubah kenyataan esensi sifatnya, sebagai bukti kepemimpinan atau keilmuannya. Esensi sesungguhnya dengan apa yang dilihat seharusnya relevan dan menutup kontradiksi seperti memandang aktivitas salat hanya gerakan tubuh tanpa memedulikan nilai yang ada di dalamnya (Al Ma’un : 4-7). Korelasi keduanya mengungkap kesepakatan apa yang digerakkan, dinyatakan dan dirasakan dengan nilai-nilai material maupun spiritual, sebagai pertautan kerja manusia di dunia dan akhirat secara bersamaan. Bentuk pengabdian seutuhnya dalam manembah Gusti yang menginternalisasi dalam gerak ruang dan waktu jasmani maupun ruhani.

Menaklukkan cahaya, esensi dan realitas yang dihadapi membutuhkan sisi kemanusiaan. Modal yang ditanamkan Tuhan dalam diri manusia melingkupi dua kutub berlawanan yaitu sifat malaikat dan binatang. Sifat kepemilikan akal menjadikan manusia dapat menempatkan dirinya melebihi malaikat atau melampaui prestasi binatang. Tujuan akhirnya menggapai sisi kemanusiaan dengan berupaya optimal memikul ketidakadilan, mendengarkan ragam kemustahilan darinya, menjalani kerasnya kehidupan dan mengubah akhlak menjadi lebih baik sesuai fitrahnya. Pilihan yang membedakan antara cara yang ditempuh Nabi Isa as yang bergelut dengan kesendirian dan menundukkan hawa nafsunya dengan pola Nabi Muhammad Saw memikul penderitaan di tengah kaumnya dan memperjuangkan bersama jalan cahaya. Jalan keduanya telah memiliki ketenangannya masing-masing sehingga mampu memikul beban seratus ton atau pukulan dan menemukan buah/hasilnya pada gudang-gudang yang melimpah kekayaan tersembunyi dan diharapkan, dimana yang terpenting adalah tujuannya. Tujuan menjalani kehidupan bersama kesabaran menerima yang ideal dan bertolak belakang antara ekspektasi dan kenyataan yang dihadapi.

Tujuan seseorang memilih keputusan jalan cintanya menghantarkan pada titik berpisah dari cara lama pada yang baru. Kebaruannya cenderung hasrat membumikan sisi kemanusiaan memilih jalan ruhani melalui pintu meninggalkan rajutan kemewahan dunia dan turunannya. Dunia yang seharusnya mampu memenuhi kebutuhannya dengan mudah secara genetik baik dari bibit, bebet dan bobot ditinggalkan, sebab meyakini hidup tanpa arti jika minus perjuangan. Laku empati ditempuh untuk menyempurnakan fitrahnya sebagai manusia dengan merasakan penderitaan dan berjuang bangkit melawan keterpurukan diri dan liyan. Hal terbodoh meninggalkan kemegahan untuk sebuah perjuangan tanpa henti dan unpredictable menjadi sudut pandang liyan yang lebih memilih zona nyaman dan mempertahankan kuasa eksistensinya. Eksistensi melanggengkan kuasa atas liyan dengan pola kolusi, korupsi dan nepotisme tumbuh subur dalam praktik materialisme. Salahsatu produk yang laku dijual tanpa promosi dan mereduksi tugas makhluk Tuhan yang diijinkan untuk menyesatkan sebab tugasnya telah diambil alih dan paripurna.

Realitas berbeda menghasilkan paradok untuk menciptakan kesungguhan menghapus jejak rekam menjadi figur lain. Evolusi diferensiasi dibangun mencirikan pribadi yang merakyat, menanggalkan predikat (bangsawan, gelar, keturunan) dan mengeluarkan priveledge dalam aktivitas keseharian. Bergaul dengan rakyat jelata, mendengarkan keluh kesah, ikut merasakan penderitaan, mencoba memberi alternatif solusi terbaik, hidup membersamai yang papa dan menikah dengan kaum yang tidak sederajat. Resiko hidup tinggi yang membutuhkan pengorbanan ekstra melepas semua fasilitas yang tinggal diputar, dijilat dan dimakan seperti Oreo. Jalan yang ditempuh memiliki pandangan hati dengan budi pekerti yang agung sebagai upaya meneladani pribadi yang dicintai semesta (Al Qalam : 4). Jalan pecinta lebih memilih untuk tidak hanya mengembangkan materi namun melihat sudut lain yang tersembunyi, menyibak yang terselubung dan menentramkan kehidupan. Berbeda dengan konten materialis yang berhenti pada eksistensi dilihat, diterawang dan diraba seperti deteksi uang palsu dimana semuanya harus terukur dan dibuktikan. Kontradiksi bagi jalan pecinta dunia pada kemegahan seperti pangkat, jabatan dan kehormatan, sehingga rasa takut kepada Allah Swt  dan rindu dunia Wali hanya melesat secepat kilat dalam batin atau bahkan tidak terlintas sedetikpun. Perbedaan signifikan antara jalan ahlul haq (para pengikut kebenaran) dibawah kepemilikan Allah, dimana ia disibukkan dan ditenggelamkan bersamaNya dalam aktivitas hidupnya, dengan ahlu al-dunya (para pengikut duniawi) yang disibukkan dengan nafsunya berdampak ketahanan tidak lama dan menjauhkan pada esensi kehidupan. Dua keping yang justru memperjelas rupa masing-masing dan layak disyukuri keberadaannya, seperti cahaya rembulan membutuhkan pekatnya malam.

Sebuah pilihan esensi menyelamatkan sejarah masa depan yang tengah dikonstruksi sedari dini. Pondasi peradaban dibangun dan dimulai dengan cara memutus jalur hubungan darah dan hierarkhi melalui cara hidup merakyat, bukan melanjutkan trah keberlimpahan. Oposisi yang diambil menunjukkan keberpihakan pada kaum marginal sebagai jalan liku memperjuangkan takdir lain yang lebih bermakna. Menjelaskan alasan berpindah ke lain hati tanpa harus mengutarakannya adalah bagian cara diam memutus silaturahmi masa lalu dengan masa mendatang. Menghapus jejak dan menggantikan jalan lain jauh lebih menikmati rasa manusia sejati yang bukan untuk dibanggakan selepasnya. Memayu hayuning bawana dengan cara aneh, boleh jadi layak ditiru.

Penulis : Nashrudin Latif, Sidoarjo

Editor : Meilinda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *