KORANPENELEH.ID- Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%. Artinya, dari 1000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. Itulah mengapa Aktivis Peneleh Regional Salatiga memilih mengadakan bedah film daripada bedah buku.
“Menonton film adalah salah satu hiburan di tengah pandemi. Selain itu, film lebih mudah diakses oleh orang-orang awam dari pada buku. Karena, kalau kita mengadakan bedah buku, otomatis dia harus baca bukunya dulu, sedangkan daya baca masyarakat Indonesia masih rendah,” jelas Rachmat, Ketua Aktivis Peneleh Regional Salatiga saat dihubungi setelah acara (9/11/2020).
Bedah film yang dilaksanakan via aplikasi zoom ini, diharapkan menjadi salah satu upaya untuk menangkal krisis identitas yang salah satunya disebabkan oleh derasnya arus globalisasi. Rachmat mengungkapkan film dokumenter dipilih karena mengandung banyak pembelajaran dan nilai pendidikan yang bisa dipetik.
Film ini dibedah langsung oleh tiga Pengader Jang Oetama Aktivis Peneleh, yaitu Hendra Jaya, Atmaja Wijaya, dan Dwi Febriana. Hendra Jaya dalam materinya menyampaikan, Pak Tjokro berani berhadap-hadapan dengan sikap angkuh Belanda. Beliau juga berani menanggalkan status dan kedudukannya untuk berhijrah. Kata-kata hijrah yang dipesankan oleh guru ngajinya senantiasa membisikinya. Tujuan dan keberpihakan Pak Tjokro pun sangat jelas, yaitu konsolidasi berakar nilai dan berparadigma keberpihakan untuk zelfbestur (mandiri/merdeka).
Selain membedahnya, adapun kritik terhadap film ini juga diungkapkan oleh Dwi Febriana. Menurutnya, filmnya tidak sedetail sebagaimana diceritakan di buku Jang Oetama, karya Aji Dedi Mulawarwan yang tempo hari sudah dia pelajari. Selain itu, peran Suharsikin, istri Tjokroaminoto menurutnya kurang banyak ditampilkan. (Meilinda/Red)