Oleh: Hendra Jaya
Pandemi Covid-19 telah menghantam seluruh sektor kehidupan manusia saat ini di seontoro dunia. Ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan sudah hampir mati akibat pandemi ini. Ketimpangan sosial muncul ditengah hiruk pikuk problem negeri. Hal tersebut menjadi sumbu-sumbu konflik sosial dan konflik multidimensi dan bisa jadi konflik ini muncul akibat ketidaksiapan dan ketidakmampuan pemimpin bangsa menghadapi situasi dan kondisi tersebut, bahkan parahnya lagi pemangku kekuasaan menggunakan momentum ini sebagai pasar untuk mengambil keuntungan.
Padahal seharusnya pemimpin harus mampu mendorong perubahan ummat menjadi lebih baik, jika kita melihat lebih jauh lagi, rasanya pemerintah telah gagal memahami realitas atau bahkan mereka mengkonstruksi realitas untuk membranding dirinya, bukan menjadi pemimpin perubahan (pemimpin profetik).
Nabi Musa dan lebih dekat lagi nabi Muhammad SAW seharusnya menjadi contoh pemimpin saat ini, bahwa membangun peradaban bukan atas logika pertumbuhan ekonomi namun di mulai dari kebudayaan sendiri (cultural drift) menumbuhkan nilai religiusitas kebangsaan. Terbukti Logika Institutional Drift ala Acemoglu dan Robinson telah runtuh setelah Manusia menjadi semakin liar dengan keinginannya menjadi Tuhan di dunia. Seluruh negara luluh lantak, tesis menguatnya Sains dan Teknologi dalam sejarah ala Harari luluh lantak Seluruh pemimpin negeri dan negeri-negeri papan atas tak pelak ikut runtuh. Kita sedang mengalami Disrupsi Global bukan oleh kuasa AI dan IT, tetapi karena kegagalan mengendali kan alam dan sains itu sendiri. (lihat: koranpeneleh.id)
Cultural Drift berbasis moralitas yang sudah banyak terjadi di masa lalu seperti kemunculan peradaban Islam yang umurnya jauh hingga ribuan tahun sejak tahun 624 dan mencapai puncaknya tahun 1324 hingga 1924. Peradaban Barat berbasis Institutional Drift rata-rata hanya berumur 300-500 tahun dan sedang mengalami collapse-seperti kita lihat sekarang. (baca; 2024 Hijrah untuk Negeri)
Melihat realitas yang telah dikonstruksi oleh berhala-berhala peradaban, disatu sisi peradaban Timur maupun Barat yang selama ini menjadi kiblat dunia sudah diamabang kematian, maka sudah seharusnya umat manusia (Islam) bersatu untuk membentuk gelombang kebaikan. Jika kebaikan masih saja terkotak-kotak berdasarkan golongan, kepentingan dan kekuasaan, bisa jadi peradaban besar bernama Indonesia akan terus berada dalam ayunan peradaban, menjadi negara yang tidak mempunyai identitas diri. Atau bisa jadi akan menjadi peradaban yang mati dan musnah.
Belajar dari Nabi Nuh AS
Setelah nabi Adam AS wafat, terjadi lah kealpaan atas wasiat beliau, kesalahan dahulu kembali terluang. Kejahatan dan kemaksiatan memenuhi bumi, akal manusia mulai terkalahkan dan diselimuti kabut yang tebal, kedzaliman terjadi dimana-mana dan banyaknya manusia yang teraniaya. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin melarat, kemanusiaa, persaudaraan dan kedermawanan hilang tinggal nama dan kisah, hingga kehidupan manusia bak neraka Jahanam.
Ketika akal manusia kehilangan potensinya dan berpaling keselain Allah swt. maka manusia akan tertimpah kesalahan. Terkadang seorang mengalami kemajuan secara materi karena ia berhasil melalui jalan-jalan kemajuan, meskipun ia tidak beriman kepada Allah swt, namun kemajuan materi yang tidak disertai dengan pengenalan kepada Allah swt akan menjadi kepincangan karena ketidak semimbangan dan siksa yang lebih keras dari apa pun, karena ia pada akhirnya akan menghancurkan manusia itu sendiri. (baca: Sejarah Nabi-Nabi Allah)
Nuh As mematahkan semua argumentasi dan logika orang-orang kafir dengan logika para nabi yang mulia. Yaita, logika pemikiran yang sunyi dari kesombongan pribadi dan kepentingan-kepentingan khusus. Nabi Nuh berkata kepada meraka bahwa Allah telah memberinya agama, kenabian, dan rahmat. sedangkan mereka (orang-orang kafir) yang tidak melihat apa yang diberikan Allah swt kepada Nuh. Selanjutnya ia tidak memaksakan mereka untuk mempercayai apa yang disampaikannya saat mereka membeci, kalimat Tauhid tidak dapat dipaksakan atas seseorang. Ia memberi tahu kepada mereka bahwa ia tidak meminta sedikitpun imbalan atas dakwahnya. Ia tidak meminta sedikitpun hartanya, karena yang ia harapkan adalah rahman dan rahim Allah hingga kalimat Tauhid membumi.
Puncak dari pertentangan dalam kisah nabi Nuh tampak ketika kebatilan mengejek kebenaran, ketika logika manusia dipenuhi oleh materi dan kekuasaan, pertumbuhan hanya tentang ekonomi bukan lagi pada aspek religiusitas kebangsaan. Mereka menganggap bahwa dunia adalah milik mereka dan bahwa siksa tidak akan pernah terjadi.
Manusia beransur meninggalkan Tuhan, mereka beranggapan bahwa Tuhan adalah harta (materi), kekuasaan dan penghormatan bagi kabilah-kabilah, atau bahkan mereka menggap diri mereka adalah Tuhan, Nuh marah dan Tuhan murka.
Maka, untuk menyelamatkan umat manusia, Allah swt memerintahkan kepada nabi Nuh untuk membuat perahu besar agar digunakan untuk mengangkut umatnya dan makhluk Allah lainnya. Hinaan dalam pembuatan perahu silih berganti, seolah perjuangan nabi Nuh dan pengikutnya adalah hal yang sia-sia bagi orang kafir, hingga azab Allah datang dan menenggelamkan orang-orang kafir.
Maka binasalah orang dzolim yakni kehancuran bagi mereka. Topan dan banjir menyucikan bumi dan membersihkannya. Lenyap lah kisah manusia-manusia sombong dengan lenyapnya topan. Dan berpindahlah gemuruh dari ombak yang menggulung kedzaliman ke jiwa nabi Nuh untuk menciptkan peradaban ideal yang penuh dengan nilai religiusitas.
Umat manusia sedang berada dalam kesombongan sebagaimana diceritakan dalam kisah nabi Nuh as, bahwa bagi mereka (peradaban Barat) Tuhan bukan lagi hal penting, bahkan Tuhan hanyalah alat untuk mendapat keuntungan, dalam Homo Deus misalnya mengungkapkan bahwa dengan sains dan teknologi manusia tidak lagi takut dengan kematian, kelaparan dan perang, bahkan sain akan mengalahkan Tuhan. Dan hal tersebut dijadikan berhala kebenaran oleh banyak generasi.
Iya bisa jadi apa yang saat ini sedang dialami manusia diseluruh muka bumi adalah peringatan agar kebaikan, agar umat manusia (islam) segera bersatu menuju cita-cita ideal dan menuju peradaban berketuhanan dan berkemanusiaan. Seharusnya, sekarang, pada saat pandemi menjadi jeda untuk kita memikirkan masa depan peradaban dan bersama menciptakan bahtera besar untuk membawa manusia menuju peradaban surga, Islam sebagai rahmatan lil alamin.
innallaha ya’lamu malaa ta’lamun.