Oleh: Nashrudin Latif
Mantra-mantra meditasi mengudara, melepas resah dalam gulita.
Gundah menguap dari inkubator batin yang memberontak, ketidakadilan yang mengoyak nurani.
Lalu dimana kata memikirkan ruang melawan, bila diam sebatas doa level terendah.
Menggelorakan sayup-sayup lirih jerit tangis marginal, membuka realitas akbar yang melampaui.
Berakar kokoh dalam metafisika, mewakili suara Ilahi mengindahkan kontrak bisu wakil rakyat.
Kegelapan mereka adalah cahaya bagi pribadi peneleh, menggemakan fakta misterius yang dibekap.
Lalu mengapa kata-kata harus disalahkan, bila ia menghadirkan apa yang semestinya cerita.
Menuliskannya di masa sekarang, memperpanjang usia terus bergerak.
Membuka sedikit saja jendela ruhani suatu sore, melongok dunia luar tempat berpijak.
Ternyata senja Indonesia menanggalkan banyak cerita orang-orang yang mencintainya.
Lalu dimana saat ini mereka tinggal, bila yang lain mengisi pundi-pundi korupsi.
Mencipta hamemayu hayuning Indonesia, ternyata masih mimpi.
Jendela ditutup, lalu membuka pintu halaman rumah.
Keramaian pejalan meneriakkan slogan “tidak masalah siapa yang jadi presiden”, asal ia manusia setengah dewa.
Cukuplah mulut yang berbisa, tangan yang berpena tanpa status Nabi, mengutus liyan masuk liang sesal.
Menyorong kesadaran oh iya ya, kamu benar!
Ternyata mendirikan keadilan, sama seperti sembahyang.
Sidoarjo, 14 Juni 2020