
Oleh Ahmad Fauzi (Koordinator Kader Jang Oetama Aktivis Peneleh)
Capaian perkembangan sains-modern sekarang sebenarnya dimulai oleh umat Islam pada zaman klasik (650-1250). Pada zaman itu, umat Islam berada dalam semangat berpikir rasional, sehingga perkembangan sains dan filsafat begitu pesat. Semangat ini tentu berakar dalam ajaran dan tradisi Islam, yaitu tingginya kedudukan akal. Ini adalah budaya fikir yang oleh Harun Nasution disebut sebagai budaya berpikir “rasional agamis”, yang berlawanan dengan budaya pikir rasional sekuler, yang saat ini justru mendominasi dan dilatihkan kepada pelajar/ mahasiswa dalam pendidikan formal kita.
Peradaban Islam yang unggul tersebut membuat banyak orang Eropa (Italia, Inggris, Perancis, dll) belajar dari umat Islam dan membawanya ke Eropa. Orang Eropa, saat itu, banyak menerjemahkan buku-buku karya umat Islam yang dipelajari dari umat Islam. Akan tetapi, saat itu, ilmu-ilmu rasional mendapat pertentangan dari gereja di Eropa. Sehingga perkembangannya tidak memungkinkan.
Oleh karena itu, orang Eropa yang belajar dari umat Islam tersebut, berusaha melepaskan diri dari kekangan Gereja (agama). Sehingga lahirlah lingkungan sains yang sekuler di Eropa, yang melepaskan Gereja dari perkembangan intelektual Eropa. Perkembangan inilah yang kemudian kita kenal dengan renaissance, zaman pencerahan di Eropa.
Akan tetapi, kini roda telah berputar. Di samping Eropa yang telah berhasil mengembangkan sains dan teknologi yang bertumpu pada semangat rasional itu, di dunia muslim justru berkembang budaya berpikir yang tradisional, yang meletakkan akal setingkat dengkul, tidak dihormati dan justru cenderung terpinggirkan.
Membeloknya budaya fikir ini lahir sebagai tanggapan dari perkembangan politik yang luar biasa di dunia Islam, seperti konflik perebutan kepemimpinan di dunia Islam dll.
Dalam budaya fikir ini, umat Islam cenderung memakai cara pemahaman yang tekstual terhadap ajaran ulanak sebelumnya, hadis, dan Al-Qur’an. Berada dalam lingkungan yang demikian, di dunia Islam perkembangan sains dan filsafat mandeg. Ada kecenderungan untuk memisahkan perkara agama ritualistik dengan sains dan cara berpikir rasional.
Oleh karena itu, pada abad ke 18, dunia Islam kaget dengan perkembangan sains dan teknologi Eropa yang sebelumnya belajar dari umat Islam. Umat Islam lalu berusaha “mengejar” ketertinggalan dalam dunia sains, teknologi, dan filsafat itu dengan cara merekonstruksi kembali cara berfikir dan memahami teks-teks ajaran Islam. Tokoh-tokoh seperti Muhamad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani dari Mesir atau di Turki ada Nemik Kamal dan Zia Gokalp, berusaha merenungkan apa yang bisa dilakukan umat Islam.
Tokoh-tokoh tersebut berpandangan, untuk mengejar ketertinggalan, umat Islam harus menghidupkan kembali pemikiran rasional agamis yang sudah berkembang sejak zaman awal-awal Islam. Cara berpikir demikian selain bisa membangun peradaban Islam yang utuh, tidak mendikotomikan antara urusan sains dan agama, juga memberi corak peradaban yang unik, berbeda sama sekali dengan peradaban Barat kini yang semata rasional-teknologis, kata Ali Syariati.
Corak ini menjadi penting untuk semakin dikuatkan, selain karena peran agama dalam peran bertambah penting, peradaban Islam yang terbangun tidak akan dianggap peradaban yang mbebek/ meniru-niru peradaban lain, sebab sejak awal Islam telah berjaya dengan peradaban yang berperspektif ketuhanan tersebut.
*Diambil dari buku Antologi Refleksi