
Oleh: Afandi Ismail (Ketua Umum PB HMI MPO)
Pandemic Covid-19 telah mengakibatkan 1,6 miliar orang di dunia harus kehilangan pekerjaaanya. Di Indonesia kurang lebih 1,7 juta buruh, karyawan, pekerja di PHK dan dirumahkan tanpa pesangon dan angka ini sangat dimungkinkan akan terus bertambah. Di satu sisi perusahaan melakukan PHK massal kepada para pekerjanya dan di sisi lain Pemerintah justru seolah kehabisan akal tidak punya cara untuk mengatasi arus PHK besar-besaran yang dilakukan secara semena-mena oleh pihak perusahaan terhadap para buruh. Realitas ini menjadi bukti bahwa Negara lepas tangan kepada nasib yang dialami oleh rakyatnya sendiri. Negara tidak punya power untuk menindak eksploitasi yang dilakukan oleh para pemodal atau pengusaha kepada para buruh. Inilah negara yang lemah tak berdaya dalam cengkraman Kapitalis-Neoliberal.
Dari hari ke hari nampak situasi sosial ekonomi rakyat semakin sulit membelit. Social Distancing, Physical Distancing, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) berakibat pada hilangnya pekerjaan dan pendapatan/penghasilan sehari-hari yang secara gamblang dapat kita saksikan dialami oleh kebanyakan masyarakat kelas bawah khususnya bagi para pelaku UMKM dan sektor informal lainnya. Akibatnya daya beli menurun, pertumbuhan ekonomi perlahan anjlok pada titik nadir yang sangat memprihatinkan. Negara terancam bangkrut, ancaman resesi ekonomi sedang menghadang Negara ini yang bahkan situasinya dianalisa akan jauh lebih parah dibandingkan krisis tahun 1998.
Mana para elit negara yang dulu selalu berkoar-koar mengaku paling Pancasilais dan paling NKRI. Buktikan sekarang bahwa kalian benar-benar menjiwai nilai-nilai luhur dan semangat Pancasila serta cinta pada NKRI. Harusnya para elit negera baik yang berada di eksekutif, legislatif maupun yudikatif beramai-ramai menginisiasi gerakan solidaritas kemanusiaan dalam bentuk kerelaan pemotongan gaji selama masa pandemic Covid-19, agar dapat menjadi contoh bagi kalangan ekonomi atas dan mapan untuk bersatupadu saling membantu sesama khususnya membantu Negara dalam mengatasi penyebaran wabah Covid-19 yang tentunya membutuhkan sumber daya anggaran yang besar dan memadai. Sebab tantangan Negara saat ini bukan hanya menghentikan penyebaran infeksi pandemic Covid-19 saja, tapi juga tantangan yang jauh lebih besar adalah ancaman resesi ekonomi dan krisis pangan setelah pandemic.
Sekarang di depan mata kita semua Negara ini terancam Collapse dan Chaos. Ketakutan akan terjadinya situasi sosial ekonomi dan politik yang memburuk bukanlah hal yang mustahil, bila jumlah pengangguran semakin hari semakin bertambah akibat PHK, jumlah orang yang lapar semakin bertambah, keluarga yang tidak punya tempat tinggal semakin bertambah akibat sudah tidak sanggup membayar sewa kontrakan, jumlah orang yang jatuh sakit dan meninggal semakin bertambah bukan karena virus Corona tapi karena kelaparan dan tekanan batin menjalani hidup serba sulit di masa pandemic.
Pemerintah harus bertindak cerdas, cepat dan tepat segera temukan solusi agar jumlah pengangguran dan PHK tidak semakin bertambah. Sebab peningkatan jumlah pengangguran akibat PHK sepihak oleh para pengusaha korporasi sangat berpotensi memicu kerusuhan atau penjarahan akibat kebutuhan hidup sehari-hari yang semakin sulit untuk terpenuhi terutama kebutuhan pangan dan papa (tempat tinggal).
Tidak sedikit kalangan yang heran melihat penguasa Negeri ini. Kebingungan dan ketidaksiapan penguasa semakin jelas dalam menghadapi Covid-19, mulai dari kesimpangsiuran kebijakan yang dikeluarkan sejak masa-masa awal pandemic Covid-19 sampai sekarang semuanya terkesan coba-coba (Trial and Error) ditambah adanya kesan kurangnya soliditas diinternal pemerintah sendiri memunculkan kegamangan di kalangan masyarakat, misalnya soal boleh tidaknya mudik sampai dalam realisasi pemberlakuan PSBB di beberapa wilayah yang masih belum terkoordinasikan dengan baik sehingga masih belum mampu berlangsung secara maksimal. Padahal kerugian Negara sudah cukup besar belum lagi ditambah korban jiwa yang berjatuhan akibat wabah Corona, sampai kebijakan yang terkesan sangat politis dan parahnya hanya menguntungkan dan/atau menjadi lahan project kapitalisasi pihak-pihak tertentu dalam lingkaran kekuasaan seperti program kartu Prakerja untuk 5,6 juta peserta yang kabarnya menelan anggaran Negara sebesar 20 Triliun Rupiah. Program ini menuai polemik sebab sama sekali tidak akan menyelesaikan persoalan pengangguran dan kemiskinan yang tengah dialami oleh sekitar 25 juta penduduk Indonesia. Fakta dan realita ini menandakan juga menjadi satu parameter bahwa Pemerintahan Jokowi kering akan ide gagasan yang solusif menjawab secara konkrit permasalahan yang tengah di hadapi oleh Bangsa dan Negara khususnya masalah ekonomi (kemiskinan) dan ketenagakerjaan (pengangguran). Belum lagi informasi mengenai Tenaga Kerja Asing (TKA) yang kabarnya justru diberikan keleluasaan oleh pemerintah masuk ke Indonesia di tengah jutaaan rakyat Indonesia sendiri tengah berjuang untuk melawan Covid-19 melalui PSBB dan juga di tengah arus PHK yang dialami oleh para pekerja pribumi. Sehingga kita semua benar-benar heran melihat penguasa Negeri ini. Dan yang lebih parahnya lagi, di tengah situasi ekonomi Negara terpuruk, hutang luar Negeri meningkat tajam, sumber daya alam terus terekploitasi oleh kelompok kapitalis yang kongkalikong dengan elit penguasa komprador, kemiskinan dan pengangguran bertambah membuat jutaan Rakyat menjerit mengadu nasib, malahan para legislator yang tergabung di dalam badan legislasi di DPR RI sedang asik membahas RUU Omnibuslaw Cipta Kerja yang ditengarai hanya akan memuluskan kepentingan para pemodal mengeksloitasi Bangsa dan Negara ini. Inilah wajah Negeri ketika para pemimpinnya tidak lagi memiliki perspektif keberpihakan kepada Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat tapi justru menjadi penguasa oligarki yang baik secara langsung maupun tidak langsung akan menyengsarakan Rakyat.
Kemudian apa kabarnya dana 405,1 Triliun yang dijanjikan oleh Pemerintah Pusat termasuk kebijakan Realokasi APBD yang tentunya dimaksudkan untuk percepatan penanganan Covid-19, apakah sudah sepenuhnya terealisasi dan tersalurkan tepat sasaran. Apakah pemerintah telah dapat memastikan bahwa tidak lagi terjadi PHK sepihak dan pengangguran jika pemerintah telah memberikan stimulus fiscal kepada industri dan pelaku UMKM sebesar 70 Triliun. Lalu bagaimana dengan kebijakan relaksasi bagi para kreditur kendaraan bermotor khususnya bagi kalangan bawah seperti para pengemudi ojek online, relaksasi iuran BPJS, kompensasi Tarif Dasar Listrik (DTL) untuk Rakyat miskin, 100 Triliun untuk bansos, bansos tunai untuk 9 juta orang, kartu sembako untuk 20 juta orang, bantuan sembako untuk 2,1 juta orang, Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari dana desa untuk 21,3 juta orang, 75 Triliun untuk kebutuhan tenaga medis, dari semua kebijakan dan program itu apakah Pemerintah baik Pusat maupun Daerah serta pihak terkait sudah memastikan berjalan dan tersalurkan dengan baik di tengah data warga miskin masih carut marut hampir di semua wilayah. Dan bagaimana pula komitmen Negara melalui aparat penegak hukumnya terhadap para pelaku kejahatan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang berujung pada penyelewengan anggaran korupsi misalnya dan juga politisasi bantuan untuk kepentingan jabatan atau kekuasaan mengingat bahwa ini bertepatan dengan momentum pilkada dimana hal ini sudah terindikasi terjadi di beberapa tempat di Indonesia. Negara tidak boleh luput dan alpa terhadap hal ini dan sekali lagi Negara harus memastikan semuanya berjalan seperti yang dikendaki oleh masyarakat luas.
Terakhir, Negara harus belajar dari pengalaman sebelumnya yaitu kealpaan pemerintah dalam mengantisipasi sedari awal penyebaran Covid-19 sejak wabah ini mulai menginfeksi Wuhan, China. Faktanya saat ini situasi ekonomi Indonesia sedang merosot tajam dan bergerak menuju keterpurukan terancam anjlok diangka -2%. Maka pemerintah sudah harus berpikir dan bekerja lebih keras untuk menemukan strategi pemulihan (recovery) pasca Covid-19 khususnya di sektor Ekonomi agar dapat keluar dari ancaman krisis moneter termasuk juga krisis pangan dan kebangkrutan Negara. Sudah saatnya pemerintah jujur dan terbuka dengan kondisi Bangsa saat ini. Abaikan ego dan kepentingan politik sesaat sebab nasib dan masa depan Bangsa lebih utama. Apa yang kalian takutkan, jangan kalian ninabobokan rakyat dengan ketidakjujuran. Sampaikan fakta apa adanya agar kita semua elemen Bangsa dapat bersatupadu menyelamatkan Negara ini dari kebangkrutan.