HIMMAH GERAKAN MAULANA DALAM DAKWAH KEISLAMAN DAN KEBANGSAAN: Sebuah Visi Penyatuan Konsep Beragama dan Bernegara

Oleh: Abdul Khalik (Aktivis Peneleh, Mahasiswa Pascasarjana UTeM Malaka)

Keislaman dan kebangsaan merupakan dua dimensi kehidupan yang tidak dapat dipisahkan dan harus dipegang teguh oleh setiap organisasi kemasyarakatan Islam di Indonesia yang harus diwariskan turun temurun kepada setiap kader organisasi yang akan melanjutkan perjuangan dakwahnya.  Wawasan keislaman merupakan landasan pokok yang menjadi sumber gerakan sekaligus spirit dakwah dalam menjalankan dan mengembangkan organisasi, sedangkan wawasan kebangsaan menjadi penting karena bertujuan untuk menjadi alarm terhadap organisasi dakwah untuk tetap mempertahankan nilai-nilai kebangsaan, pedoman berbangsa dan bernegara untuk tetap tumbuh dan berkembang di Indonesia. Wawasan keislaman tanpa disertai dengan wawasan kebangsaan dapat menyebabkan lemahnya sikap nasionalisme dalam diri setiap kader, sedangkan wawasan kebangsaan tanpa penguasaan wawasan keislaman dapat secara otomatis membuat organisasi berkembang tidak dalam fitrahnya. Oleh karena itu, setiap organisasi kemasyarakatan Islam harus mendidik kadernya untuk memiliki wawasan keislaman dan kebangsaan yang komprehensif, tidak hanya sekedar memahami kedua wawassan tersebut, tetapi juga harus diinternalisasi dan dijadikan pedoman dalam setiap gerak langkah menjalankan roda organisasi.

Literatur sejarah mengabadikan fakta bahwa para pendiri bangsa (the founding fathers) yang sebagian besar dari mereka adalah tokoh-tokoh islam seperti H. Agus salim, Muh. Natsir, KH. Mas Mansyur, KH. Wahid Hasyim merumuskan pendirian bangsa Indonesia ini dengan Pancasila sebagai dasar bernegara yang mampu mengawinkan antara keislaman dan kebangsaan, melalui beberapa tahap seleksi kalimat dan susunan butir sila dengan mempertimbangkan kemajemukan bangsa. Sehingga negeri yang mempunyai keanekaragaman budaya, suku dan bahasa ini yang masyarakatnya hidup dalam keyakinan beragama yang berbeda mampu menorehkan prestasi penting sejak awal pendiriannya yaitu transformasi dari keislaman menuju kebangsaan dengan tidak melepaskan nilai-nilai keislaman yang ada. Sehingga sebagai generasi penerus sudah seharusnya untuk menjalankan kedamaian hidup dalam bingkai keislaman dan kebangsaan yang harmonis karena nilai-nilai yang ada dalam empat pilar berbangsa (Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika) sejalan dan tidak bertentangan sama sekali dengan nilai-nilai keislaman yang rahmatan lil ‘alamin, karena menurut beberapa penelitian pilar-pilar tersebut digali dari ajaran agama Islam.

1. Wawasan Keislaman

Secara etimologis, Islam berasal dari kata salima yang berarti selamat, sentosa, damai, tunduk, dan berserah. Kata salima kemudian berubah dengan wazan aslama yang berarti kepatuhan, ketundukan, dan berserah. Sedang secara terminologis, Islam merupakan agama yang ajarannya diwahyukan Allah kepada manusia melalui nabi Muhammad sebagai rasul melalui perantara malaikat jibril. Islam bukan agam doktrin yang hanya mengajarkan dan memerintahkan kepada pemeluknya untuk melaksanakan ritual peribadahan yang hubungannya dengan Tuhan (mahdhah), namun Islam sebagai agama yang sempurna juga mengatur urusan keduniaan melalui serangkaian ibadah muamalah seperti urusan politik, ekonomi, pemerintahan dan lain sebagainya. Untuk itu sekali lagi ditegaskan bahwa keislaman tidak pernah bertentangan dengan masalah kebangsaan, sehingga tidak perlu diperdebatkan kembali keberadaan dan keterkaitan kedua dimensi hidup berkelompok tersebut.

Nilai-nilai universal dalam ajaran islam memiliki beberapa prinsip dasar seperti yang dikemukakan oleh Fahrudin Faiz dalam bukunya Hermeneutika al-Qur’an (2015: 166-169) yang akan penulis coba untuk kutip beberapa yang relevan dengan tulisan ini, prinsip yang pertama adalah prinsip tauhid, prinsip ini menegaskan bahwa ada dua dikotomi dalam kehidupan ini yaitu Khaliq dan Makhluq, dengan keyakinan tidak ada yang di atas makhluq hanya ada Khaliq, sehingga setiap makhluq memiliki derajat yang sama, egaliter, tidak terddapat hirarki superior-inferior. Semua makhluq mempunyai derajat yang sama di bawah Khaliq, tidak dibedakan derajatnya karena materi sebagai bentuk dari logika materealisme, bukan pula uang sebagai logika kapitalisme, atau masyarakat sebagai nalar sosialisme barat atau manusianya sendiri sebagaimana cara bernalar eksistensialisme dalam filsafat.

Kedua, prinsip ibadah dan khilafah, kedua prinsip ini secara bersamaan membahas tentang hablumminallah (vertikal) dan hablumminannas (horizontal). Pada hubungan vertikal ini, manusia adalah ‘abd (hamba) yang berkewajiban tunduk dan taat kepada Tuhan dalam peribadahannya dengan penuh kepasrahan. Disisi lain, hubungan horizontal sesama manusia diposisikan sebagai khalifah yang bertanggung jawab untuk mengatur dan menjalani kehidupan yang harmonis antar sesama makhluq, karena khalifah adalah pengurus dan pengelola kehidupan di bumi.

Ketiga, prinsip Ta’aruf dan Tasabuq, kedua prinsip ini mengarah kepada pola bernalar mannusia dalam menghadapi keberagaman dalam kehidupan plural, karena pluralitas merupakan sebuah keniscayaan. Nalar ta’aruf merupakan nalar saling memahami, sementara nalar tasabuq adalah nalar “berlomba” menuju kebaikan. Keniscayaan akan adanya keberagaman tidak seharusnya dijalani dengan sikap konfrontatif terhadap yang memilih cara dan jalan yang berbeda sehingga sifat ta’aruf dan tasabuq ini sangat diperlukan dalam menghadapi kelompok yang memiliki pandangan yang berbeda untuk dapat meniadakan kemunculan konflik yang tidak perlu dann tidak pada tempatnya.

2. Wawasan kebangsaan

Menurut Eko Sumadi (2016) wawasan kebangsaan merupakan cara pandang atau perspektif dari komunitas orang-orang yang tergabung dan terikat solidaritas didalam satu wilayah politis tertentu yang memiliki otoritas politik yang terbatas (otonom). Wawasan kebangsaan mengandung beberapa pengertian; pertama, adanya ikatan solidaritas karena kesaman nasib, tujuan dan identitas; kedua, pengakuan terhadap kekhususan identitas, seperti etnis, budaya, bahasa juga agama; ketiga, pengakuan atas kemajemukan dan perbedaan etnis; keempat, independensi politis yang terwujud ke dalam sebuah negara yang merdeka.

Wawasan kebangsaan yang harus diyakini dan dipegang teguh oleh seluruh masyarakat adalah Indonesia sebagai sebuah bangsa bukan merupakan negara agama, juga bukan merupakan negara sekular, melainkan Indonesia merupakan negara religius yang setiap warganya dibebaskan untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Ajaran islam harus diimplementasikan sebagai sebuah etika sosial yang berfungsi sebagai komplementer sebagai salah satu  alternatif untuk menghindari benturan agama dengan modernisasi dalam kehidupan bernegara, bukan tampil secara formal untuk mengatur persoalan negara, sehingga islam akan mendukung tegaknya konstruktif ke-Indonesia-an yang egaliter, berkeadilan dan demokratis.

3. Himmah Gerakan Maulanasyaikh Dalam Dakwah Keislaman Dan Kebangsaan sebagai sebuah Penyatuan Konsep Beragama dan Bernegara

Sebagai seorang pendiri organisasi kemasyarakatan islam yang lahir dan besar dizaman penjajah dan mempunyai latar belakang keluarga yang religius, Maulanasyaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid yang lahir pada 5 Agustus 1898 dengan nama kecil “Muhammad Saggaf” tentu memahami bagaimana harus mengkolaborasikan rasa cintanya terhadap kehidupan berbangsa “Indonesia” dan beragama “Islam” dalam satu pijakan yang sama rata. Maulanasyaikh dalam sejarah awalnya membentuk sebuah pesantren dengan nama “Al-mujahidin” pada tahun 1934 M. Dalam beberapa literatur yang penulis baca, pada pesantren ini Maulanasyaikh tidak hanya mengajarkan ilmu agama yang di dapatnya selama belajar di Madrasah As-shaulatiyah Makkah Al-mukarromah, tetapi Pesantren Al-mujahidin ini menjadi salah satu benteng pertahanan dan perlawanan terhadap penjajah yang sengaja didirikan Maualanasyaikh menjadi lembaga non formal supaya tidak dibubarkan oleh penjajah.

Maulanasyaikh pada 22 Agustus 1937 M, mendirikan sebuah madrasah yang khusus mengajar kaum pria yang diberinya nama Nahdlatul Wathan Diniah Islamiyah (NWDI)  dilanjutkan dengan pendirian madrasah Nahdlatul Banat Dinish Islamiyah (NBDI) pada 21 April 1943 untuk mendidik kaum wanita yang kedua madrasah ini merupakan cikal bakal berdirinya ormas islam yang kini menjadi ormas islam terbesar di NTB bernama Nahdlatul Wathan. Sebagai bukti kecintaan Maulanasyaikh terhadap bangsanya, pada zaman penjajah, kedua madrasah NWDI dan NBDI ini dijadikan sebagai pusat pergerakan kemerdekaan, tempat menggembleng patriot-patriot bangsa yang siap berjuang melawan dan mengusir penjajah dari pulau Lombok. Maulanasyaikh bersama dengan guru-guru di madrasah NWDI dan NBDI membentuk “Gerakan Al-mujahidin” untuk membela dan mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan NKRI. Pada tanggal 7 Juli 1946 Maulanasyaikh bersama dengan adik kandungnya TGH. Muh. Faisal Abdull Madjid memimpin penyerbuan pasukan NICA di Selong dan dalam penyerbuan ini gugurlah TGH. Muh. Faisal Abdul Madjid (Allhuyarham).

Dari sejarah tersebut, dapat dilihat bagaimana Maulanasyaikh memadukan antara keislaman dan kebangsaan dalam gerakan perjuangan dan mempertahankan kemerdekaan. Tidak sampai disitu, Maulanasyaikh dalam mengembangkan organisasi Nahdlatul Wathan tetap mempertahankan nilai-nilai keislaman dan kebangsaan di dalamnya, dilihat dari nama organisasi yang berarti “Pergerakan Tanah Air”. Hal tesebut merupakan bukti Himmah Maulanasyaikh dalam pergerakan dan dakwah islam yang tidak mempertentangkannya dengan nilai-nilai kebangsaan.

Sama seperti ormas islam lainnya, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dalam membentuk azas-azas dan aturan organisasi, Nahdlatul Wathan selalu berpedoman kepada aturan NKRI. Muhammadiyah misalnya, melalui pemikiran keislaman dan kebangsaannya, pimpinan Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif berusaha memperkenalkan wajah Islam toleran, inklusif, egaliter, dan non deskriminatif dalam berbangsa yang dipahami dari pemahaman yang utuh terhadap pesan moral dan nilai-nilai universal Al-Qur’an dan sunah Nabi. Ini penting karena belakangan ini tokoh-tokoh islam lebih ‘concern’ dan ‘focus’ perjuangannya telah bergeser pada wilayah yang pragmatis-politis sehingga tidak dapat mengelakkan ‘chaos’ antara Islam dan Indonesia. Sedang Nahdlatul Ulama melalui tokoh-tokohnya yang kita kenal seperti Gus Dur telah menjadikan islam sangat pluralitas di Indonesia dengan beberapa statemen yang pernah diucapkannya, dalam salah satu bait lagunya Nahdlatul Ulama menegaskan “Hubbul wathan minal iman” yang memiliki arti mencintai tanah air adalah sebagian dari iman, bahkan Nahdlatul Ulama mengeluarkan konsep Islam keindonesiaan yang disebutnya dengan “Islam Nusantara”.

Nahdlatul Wathan sendiri sebagai salah satu ormas islam di Indonesia didirikan oleh Maulanasyaikh berasaskan Islam Ahlussunnah Waljamaah yang menganut mazhab imam syafii dalam ibadah (fiqh) yang setiap orang yang ingin bergabung menjadi anggota organisasi (kader) ini disumpah baiat oleh Pengurus Besar Nahdlatul Wathan (PBNW) dimana pada salah satu butir sumpah baiatnya menegaskan komitmen kepatuhan terhadap Indonesia dengan kalimat berjanji akan mengembangkan organisasi Nahdlatul Wathan melalui pendidikan social dan dakwah sesuai dengan situasi dan kondisi NKRI yang berasaskan Pancasila dan UUD 1945. Selain itu, Maulanasyaikh sebagai seorang sastrawan yang telah banyak menciptakan karya baik dalam bahasa Indonesia, bahasa Arab juga bahasa Sasak banyak memesankan kepada kader organisasi untuk tetap mencintai Islam dan Indonesia; pertama, dalam wasiat renungan massa Maulanasyaikh banyak menuliskan pesan keislaman dan kebangsaan, salah satunya yang berbunyi “Hidupkan iman hidupkan taqwa, agar hiduplah semua jiwa, Cinta teguh pada agama, cinta kokoh pada negara” ini menunjukkan bahwa NW yang berlandaskan islam Ahlussunnah Waljamaah memiliki peran strategis untuk mempertahankan dan menyebarkan semangat bernegara dengan menempatkan Islam dan Indonesia dalam satu hati yaitu mencintai islam seteguh hati dan memperkokoh rasa cinta terhadap Indonesia sebagai tempat NW didirikan dan dikembangkan. Maulanasyaikh menananmkan karakter kebangsaan dan keislaman yang sangat kuat kepada semua kader organisasi sebagai modal untuk kemajuan bangsa dan negara dengan bingkai keislaman yang Rahmatan lil ‘alamin.

Kedua, pesan keislaman dan kebangsaan juga disampaikan oleh Maulanasyaikh dalam sebuah lagu yang ditulis pada 1 Maret 1953 M berjudul Mars Nahdlatul Wathan. “Pancasila dasar Negara Kita, Ketuhanan adalah sila yang utama, Mengabdi kepada negara dan bangsa, Dengan Iman tertanam dalam dada, Marilah kita tetap berjuang menuju cita-cita, Mencapai negara yang adil dan makmur, Dengan keredhaan Yang Maha Esa” merupakan lirik lagu dalam mars NW. Menurut Prof. Dr. TGH. Fahrurrozi Dahlan, QH., MA (2019), dalam lagu Mars NW ini Maulanasyaikh mengeaskan semangat patriotisme dan nasionalisme sejak NW didirikan dan perjuangan melawan penjajah, menghidupkan semangat kebangsaan yang berlandaskan dasar Negara yang berfalsafah Pancasila.
NW sesungguhnya sudah final bicara tentang Dasar Negara tentang Pancasila karena keislaman kebangsaan dengan Pancasila sebagai dasar negara adalah satu tarikan nafas yang tak terpisahkan. Pancasila dan Ketuhanan adalah sila yang utama menjelaskan tentang kesatuan keislaman dan kebangsaan dan disinilah identitas NW yang mempertegas kebangsaan dan ke-NW-an.

Ketiga, karya lain dalam bahasa Arab, Maulanasyaikh yang dikenal sebagai sosok ulama dan umaro yang ahli syair dalam berdakwah menuliskan sebuah lagu yang berjudul Ta’sis Nahdlatain. Dalam lagu ini Maulanasyaikh menuliskan kata ‘Biladiy’ (Negeriku) dan ‘Wathoniy’ (Tanah Airku) sebagai dakwah kebangsaan dan sebuah bukti kecintaannya terhadap NKRI dengan menyertakan kata “ku” sebagai sebuah pengakuan bahwa Maulanasyaikh sejak lahir sampai akhir hayat tetap mencintai negara dan tanah air kelahirannya. Bahkan Maulanassyaikh dalam bait lagu ini menyebut tanah air dengan sebutan Ruhku Jiwa Ragaku Menjadi Tebusannya dari segala kesesatan dan keterbelakangan. Ini menunjukkan semangat cinta tanah air menjadi satu tarikan nafas kebangsaan dan keislaman bagi diri Maulanassyaikh yang patut sebagai kader dan para generasi muda harapan bangsa untuk melanjutkannya dan menggelorakannya (Fahrurrozi, 2019).

Keempat, Maulanasyaikh dikenal sebagai seorang ulama dan waliyullah yang banyak mengarang kitab-kitab, salah satu karangan Maulanasyaikh yang berbentuk buku adalah Hizib Nahdlatul Wathan. Hizib ini merupakan kumpulan doa-doa yang dinukil dari al-Quran dan hadits serta doa-doa waliyullah yang dikumpulkan oleh Maulanasyaikh serta disebarkan sebagai reaksi atas sikap jepang yang ingin menutup sejumlah madrasah Nahdlatul Wathan. Hizib Nahdlatul Wathan juga dipercaya menjadi senjata spiritual warga Nahdlatul Wathan untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan membebaskan diri dari penjajahan. Dalam satu baris doa yang terdapat di dalam hizib Nahdlatul Wathan, Maulanasyaikh menuliskan “Wanawwir bilaadana bi anjumi nahdlatil wathan, wa’ammir bilaadana bimiyaahi nahdlatil wathan” yang artinya terangilah negara kami dengan (puta-putri/ulama) Nahdlatul Wathan, laksana bintang gemintang yang memancarkan sinar, dan subur makmurkanlah negara kami dengan ilmu-ilmu Nahdlatul Wathan laksana air (penyubur tanah dipermukaan bumi). Maulanasyaikh berharap kader-kader Nahdlatul Wathan selalu berdoa dengan hizib ini untuk bisa menjadi penegak dan pejuang NKRI melalui perjuangan Nahdlatul Wathan yang sudah digariskannya, juga menjadikan ilmu yang dimiliki sebagai alat untuk menyubur makmurkan Indonesia dalam segala aspek kehidupannya.

Melalui uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Maulanasyaikh selaku pendiri Nahdlatul Wathan  mempunyai Himmah (cita-cita) pergerakan dakwah dalam menyatukan visi dan konsep keislaman dan kebangsaan dengan mengajarkan kepada seluruh kader NW untuk memiliki wawasan kebangsaan yang komprehensif dan senantiasa menjaga semangat dan cinta terhadap islam dan juga Indonesia yang menempatkan keislaman dan kebangsaan dalam satu tarikan nafas yang sama. Karena islam adalah agama yang mengajarkan untuk cinta terhadap tanah air seperti yang sudah dicontohkan oleh rasulullah dan para pemimpin islam sebelumnya. Sedangkan Indonesia bukan merupakan Negara Agama, bukan juga Negara sekuler tetapi Indonesia merupakan negara religius yang di dalamnya hidup rukun antar ummat yang mempunyai agama yang berbeda. Rumusan Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI sebagai suatu dasar bernegara sudah final, sehingga setiap ormas islam yang berdiri di NKRI harus memegang teguh empt pilar berbangsa dan bernegara. Segala sikap dan tindakan yang bertentangan dengan 4 pilar kebangsaan tersebut harus dijauhi dan ditinggalkan.

References

Dahlan, F., 2019. NWOnline. [Online] Available at: https://nwonline.or.id/tasis-nahdlataian/ [Accessed 3 Mei 2020].

Dahlan, F., 2019. NWOnline. [Online] Available at: https://nwonline.or.id/nilai-nilai-keislaman-kebangsaan-dan-keummatan-part-10/ [Accessed 3 Mei 2020].

Nata, A., 2016. Islam dan Kebangsaan. Jakarta, Researchgate.

Sholikin, A., 2019. ibtimes.id. [Online] Available at: https://ibtimes.id/mengurai-pesan-pesan-keislaman-dan-kebangsaan-ahmad-syafii-maarif/ [Accessed 2 Mei 2020].

Sumadi, E., 2016. KEISLAMAN DAN KEBANGSAAN: Modal Dasar Pengembangan Organisasi Dakwah. TADBIR: Jurnal Manajemen dan Dakwah, 1(No. 1), pp. 167-184.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *