Oleh: Dzulkarnain Jamil (Aktivis Peneleh Nasional 9)
“Perang yang paling berat ialah perang melawan hawa nafsu” (Muhammad bin Abdullah)
Manusia merupakan makhluk yang berbeda dengan yang lain, jika Malaikat dikarunia akal, jika hewan dikarunia nafsu, maka setiap insan (manusia) dianugrahi akal dan nafsu.Ibnu Athoillah dalam butir hikmahnya mengatakan: “Persahabatanmu dengan orang awam yang tidak merestui hawa nafsunya lebih baik dibanding persahabatan dengan pemuka agama yang merestui nafsunya”.
Dari ungkapan Ibnu Athoillah tersebut ada kaitan yang cukup menarik dengan hadirnya bulan ramadan. Bahwasanya nafsu tidak hanya bermain dalam wilayah ‘maksiat’, akan tetapi dalam hal ibadah nafsu juga dapat menyusup. Seperti halnya beraneka ragam cara insan menyambut datangnya bulan ramadhan dengan penuh kegembiraan, hal itu dapat saya lihat dari keaktifannya dalam mengekpresikan kebahagiaannya melalui ungkapan-ungkapan kebaikan di sosial media. Mengajak untuk sholat tarawih dan tadarusan bersama, adapula yang menjadi penceramah secara tiba-tiba melalui ungkapannya yang mengajak untuk menghindari maksiat pada bulan ramadhan ataupun meningkatkan kesabaran dalam menjalankan setiap aktivitas. Kesimpulannya bahwasanya umat islam secara kasat mata sedang meningkat kadar keimanannya. Bahkan ketika ada kabar bahwasanya ada orang yang sedang tertimpa musibah seperti kecelakaan, muncullah celetukan “kamu tidak puasa ya pantesan terkena musibah” hal tersebut merupakan pernyataan yang sering muncul entah merupakan ungkapan bercanda maupun ungkapan hardikan kepada seseorang karena merasa dirinya terhindar dari bencana akibat sedang menjalankan ibadah puasa.
Perlu kita sadari terjadilah perilaku Riya’ dalam menjalankan ibadah bahkan sampai menyombongkan diri akibat dari perbuatannya yang merasa taat dan menjalankan perintah Allah. Tentu benar jika setiap musibah yang datang menimpa diri kita hal tersebut dapat kita katakan sebuah musibah agar kita sebagai manusia senantia bermuhasabah terhadap apa yang telah kita lakukan. Namun, ungkapan tersebut harusnya ditujukan kepada diri kita sendiri agar kita tidak terlalu percaya diri dan menganggap sebuah musibah yang datang sebagai cara Allah untuk menaikkan derajat kita dimata Allah. Sebaliknya apabila musibah yang datang menghampiri orang lain maka sudah sepatutnya kita berhusnuzan bahwasanya musibah tersebut diberikan oleh Allah kepadanya sebagai bentuk Allah memuliakannya dan ingin menaikkan derajatnya.
Lebih perlu lagi disadari bersama bahwasanya keharusan kita dalam melakukan kebaikan maupun mengajak kepada kebaikan merupakan sebuah kewajiban yang sudah sepatutnya kita laksanakan setiap saat dan setiap waktu tanpa perlu menunggu bulan Ramadan tiba. Adapun berkaitan dengan pengekangan terhadap hawa nafsu merupakan sebuah perilaku yang dilakukan oleh orang yang menurut Rasulullah orang-orang yang cerdas karena mereka enggan menukar kenikmatan yang ada di dunia yang hanya sesaat dengan kehidupan yang abadi yaitu di akhirat nanti yang merupakan tempat terakhir kita dalam kehidupan. Hal tersebut menyangkut kesadaran kita akan tahap-tahap perjalanan kehidupan kita yang melalui 5 alam yaitu: Alam Roh, Alam Rahim, Alam dunia, Alam barzah, dan Alam akhirat.
Saya jadi teringat pesan dari Imam Al-Ghazali yang berkata: “Sembunyikan kebaikanmu, sebagaimana engkau menyembunyikan keburukanmu”.
Oleh karena itu menyembunyikan amal ibadah merupakan perbuatan yang penting. Maka kita perlu menumbuhkan ketakwaan diri, agar kita tidak ditundukkan dan diperbudak oleh hawa nafsu dalam beribadah. Jalan yang dapat kita tempuh melalui berbuat dengan ikhlas dan lapang hati. Karena hati yang lapang merupakan hati yang hidup dan akan membawa kita menuju puncak kecintaan yang abadi yaitu cinta kepada sang pencipta semest