Oleh: Gus Fauzi (koordinator Rumah Kader Jang Oetama)
Di tengah pandemi Covid-19, semuanya coba ambil posisi dan strategi, kira-kira apa bentuk kontribusi, bagaimana skenario untuk aksi pasti…
Terutama mereka tenaga medis, nyawa dan kehidupan telah dipersiapkan sebagai bekal bertarung…
Beberapa yang lain ambil kontribusi positif atau urun ide konstruktif…
Tetapi, bagaimana aktivis yang sering terlihat garang dan mendaku agent of change?
Banyak yang bertanya, beberapa geram karena ternyata tak muncul juga…
Banyak yang kecewa, ternyata mereka sedang terlena kenyamanan dan sibuk cari selamat di kampung halaman…
Tak sedikit pula yang menyindir, mereka sedang rebahan sambil menunggu instruksi “atasan”…
Ya, ikatan batin dengan abangda memang sudah meng-afiliasi dalam tubuh struktural hingga aksi…
Beginilah memang faktanya, yang membuatnya seperti singa yang tidak suka berburu …
Ibarat macan hiburan di kebun binatang …
Ibarat jaguar berhias gigi kawat …
Mereka hilang garangnya, unyu tingkahnya …
Nggemesin gerak-geriknya, mengundang tawa ngaungannya …
Disoraki ke kanan dan ke kirinya, ramai tepuk tangan muncul dan hilangnya …
Setelah semua itu, dikembalikan lagi dalam kandangnya…
Diarak dengan jerat belenggu unggah-ungguh…
Dulu…
Singa, macan, dan jaguar itu liar …
Berburu kesehariannya, bangga dan lantang menunjukkan gigi-gigi tajamnya …
Kemana saja mereka diburu, mereka sering ditakuti …
Bukan dipinang-pinang, tidak tenang-tenang …
Komunitas “hewan liar” itu kini ternyata sudah jarang, atau bahkan sudah hilang, habitatnya sudah terjamah-jamah tangan kotor kuasa…
Taringnya disikat mengkilap dan dipoles…
Dulu mereka hidup bebas di alam liar dengan penuh semangat juangnya, setiap harinya berusaha gigih mencari mangsa demi eksistensi dan menjaga nama raja alam liar yang disematkan padanya. Keberadaannya hanya untuk berjuang, menghalau dari lapar dan haus, memenuhi nafsu berburunya akan darah-darah kotor kekuasaan.
Entah kemana komunitas itu sekarang, entah terjinakkan atau tersekat ruang geraknya, atau sudah berhasil dininakkan oleh tangan-tangan berkepentingan, tangan-tangan yang tidak menghendaki alam liar, tangan-tangan pembalak yang menghardik keliaran mereka, tangan-tangan yang takut terusik akrobatiknya di kursi-kursinya, tangan-tangan yang memiliki segudang intrik untuk mempersubur keturunan dan sekawanannya.
Penyakit yang menjangkiti pemuda “jalanan” (baca: aktivis).
Jika pada 1998 kelompok-kelompok mahasiswa dan pemuda mampu melakukan konsolidasi ideologis dan gerakan untuk menyamakan tujuan, hari ini kita lihat justru gaduh dalam perebutan kedudukan lokalnya atau sibuk mempebanyak kader…
Padahal, taring dan insting liarnya kini tengah diharap semesta…