Menggugat Syahadat PMII

Hendra Jaya (Ketua 1 PK PMII Ya’qub Husein STIT UW Jombang, Aktivis Peneleh 6)

Islam dibawa oleh Muhammad saw lahir sebagai penguatan akan nilai Tahid sebagai pegangan utama umat manuis dalam menjalani kehidupan. Ia menjadi tonggak dari keseluruhan sikap manusia, khususnya umat Islam, dalam menjalani tidak hanya ibadah tapi juga muamalah (hubungan sosial). Tentang muamalah, tauhid mengajarkan pengesaan mutlak kepada Allah dan pengakuan bahwa hanya Allah yang mahaagung dan mahasempurna. Bertauhid berarti siap dengan segala konsekwensi. onsepsi tauhid menunjukan tdk ada penghambaan dan penyembahan kecuali kpd Tuhan, bebas dari belenggu kebendaan dan kerohanian. Mengucap Syahadat berarti telah menafikan diri dari ikatan-ikatan dan subordinasi apa pun. Agama bukan upacara ritual dan simbolik yang mati, ia adalah bagian  dari Tuhan yang maha hidup, ia adalah jalan menuju ketakwaan.

Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hambanya-Nya hanyalah orang-orang yang beriman” (QS. Fathir: 28)

Takut atau takwa kepada Allah swt tidak akan muncul kecuali berdasarkan ilmu. Mustahil kebodohan dengan bentuk apapun akan melahirkan rasa takut. Oleh karena itu, dalam pandangan Islam ilmu adalah hal pokok, ia bukan kemewahan atau prihasan bagi orang muslim. Namun merupakan tujuan yang mulia dan utama dalam penciptaan alam wujud.

Dari sini kita temukan kaitan yang sangat dekat antara prinsip ketuhanan dan kemanusiaan. Sebab, tauhid secara tidak langsung meniscayakan adanya kesetaraan bagi manusia karena derajat dan kelas paling tinggi hanya milik Allah. Pembedaan derajat dan kelas pada tataran manusia bersifat semu di hadapan Allah swt, hanya ketakwaan menjadi pembeda. Tetapi, dewasa ini kemanusia telah mengalami degradasi dan bahkan serasa telah punah.

Kemanusia menjadi perbincangan menarik, ditengan pandemi Covid-19 ia menjadi bukti nyata kecintaan kepada Rasul Muhammad saw., sebagai manusia yang memberi tauladan dalam melihat manusia. Muhammad saw manusia termulia dan selalu memuliakan orang lain, beliau rela lapar asal umatnya kenyang, beliau rela sakit asal umatnya sehat, beliau selalu mengorbankan diri untuk umat dan agama.

Sekali lagi saya ingin mengatakan nilai-nilai yang dicontohkan nabi kini hampir punah, terutama ditengah pemuda dan organisasi pemuda. Dalam tulisan kali ini, dalam hati dan benak saya, selalu mempertanyakan bagaimana PMII khusunya PB PMII melihat manusia dan kemanusiaan ditengah pandemi. Sebagai gerakan yang menjadikan Aswaja sebagai manhajul fikr wal harokah, masihkan mencontoh Nabi Muhammad atau malah menjadi Quraiys Modern? Sedang jadi Musa atau Fir’aun abad 21?

Siapa sebanarnya Tuhan PB PMII?

Barang siapa yang menyembah Allah bukan substansinya, itu sama dengan kafir. Barang siapa yang menyembah Allah dan substansinya, itu adalah syirik. Barang siapa yang tidak menyembah Allah, melainkan substansinya itulah tauhid yang sejati. (Anonim, dikutip oleh Azhari Akmal Tarigan, hlm. 48). Pertanyaan pertama yang ingin saya tanyakan kepada pemimpin hebat PMII saat ini. Saya buka orang alim, bukan pula orang pintar dan saya tidak punya hak untuk menjastis meraka Musa atau Fir’aun, jiak saya melihat dari kacamata saya, hari ini orientasi gerakan yang diarahkan Agus Herlambang dkk ialah perut. Hingga patut kita pertanyakan siapa Tuhan mereka yang hari ini sedang duduk dikursi kepemimpinan PMII. Masihkan mereka menyembah Allah secara substansi atau sekedar ritual, atau bahkan tida sama sekali dan senioritas, jabatan merupaka dewa yang disembah saat ini? masih menunggu jawaban.!!

Bagaimana PB PMII melihat Realitas?

Pertanyaan kedua, ini mewakili beberapa kader yang sempat saya wawancarai terkait penilaian mereka terhadap PB PMII saat ini. Ntah seperti apa mereka melihat realitas saat ini, ditengah kegaduan akibat covid-19, PB PMII masih berdiam diri didalam rumah masing-masing, saya tidak habis pikir, organisasi sebasar PMII tidak sedikitpun memiliki geraka, ada apa?, bagaimana sebenarnya mereka melihat realitas, tidak hanya terkait Covid-19, hal lain seperti Omnibus Low PB PMII sampai saat ini masih bungkam, siapa yang menina bobokan PMII? mari kita cari jawabannya.

Menggugat Kemanusian PB PMII

Al-Qur’an menghidupkan makna kemanusiaan yang luhur, KH Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikelan Gus Dur pernah mengatakan yang lebih penting dari politik adalah kemanusian. Dilain waktu beliau mengatakan “memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya. Merendahkan dan menistakan manusia berarti menrendahkan dan menistakan penciptanya.

Indonesia lahir dari sejarah panjang, pemuda tidak pernah absen dalam mengisi ruang-ruang sejarah, hingga peradaban besar bernama Indonesia masih hidup sampai saat ini. Tidak diragukan lagi bahwa pemuda (mahasiswa) memiliki kekuatan luar biasa, terutama kekuatan politik. Begitupula organisasi-organisasi kemahasiswaan, kekuatan politik sangat kuat bahkan salah satu elemen terkuat yang mampu mengubah kebijakan politik ialah organisasi kemahasiswaan. Kekuatan dan makna dari apapun yang mereka lakukan terletak dalam dunia moral (kemanusiaan).

Pemuda atau mahasiswa (organsisasi) otomatis dianggap memiliki kesadaran tersebut. Mereka memang sudah merupakan kakuatan kritis dalam masyarkat. Adakalanya pemuda dan mahasiswa dijadikan sebagai tumpuan harapan yang bisa melakukan tindakan yang penuh keberanian untuk menyampaikan lirih, kegelisahan dan suara rakyat.

Covid-19 hingga kini menjadi pembahasan yang tiada henti, media massa, media online kini dipenuhi oleh covid-19. Covid-19 menjadi ancaman besar keberlangsungan hidup manusia, tesis Harari dalam homo deus bahwa “manusia modern tidak takut lagi akan kelaparan, perang dan wabah” kini terbantahkan. Sains modern telah serasa tidak bermanfaat lagi ketika virus kecil tak kasat mata menyerang bumi manusia. Kini yang ada ialah sejauhmana manusia mampu saling membantu, manusia kini dibangunkan dari manjaan sains modern, bahwa manusia selalu saling membutuhkan satu sama lain, yang ingin saya katakan disini ialah kemanusia menjadi nomor satu. Khairunnas Amfauhum Lin Nass.

Presiden Jerman mengatakan bahwa covid-19 merupakan ujian kamanusiaan, artinya hari dunia (masyarakat) sedang diuji kepekaan kemanusiannya, sejauh mana kita memberi manfaat bagi yang lain. Organisasi pemuda/mahasiswa sebagaimana yang kami ungkapkan diatas tadi, memiliki kekuatan basar dan bahkan menjadi harapan dan tumpuan bagi masyarakat saat ini.

Namun sangat disayangkan, dalam kondisi pandemi covid-19 organisasi mahasiwa absen dalam mengisi harapan-harapan manusia. PMII sebagai organisasi terbesar belum angkat suara terkait hal tersebut, Omnibus Low UU yang pro korporasi dibiarkan begitu saja tanpa ada suara secuilpun.

Saya pribadi tidak tahu setatus independensi PMII masih benar atau hanya lebel semata. PMII khususnya PB PMII telah kehilangan rasa kemanusian ditengah wabah ini. Tentu sebagai kader dipenuhi rasa kecewa mendalam. Saya sempat melakukan wawancara dengan beberapa kader Jombang, Jember, Sirubondo dan lain-lain, mereka memiliki jawaban yang berpariasi namun satu, mereka KECEWA atas bungkamnya PB PMII ditengah harapan masyarakat Indonesia. Kader Jember misalnya mengatakan “Sebenarnya juga cukup dilema kak, dengan adanya peraturan physical distancing. Yang pertama, PB tidak bisa berbuat apa2 karena juga mengikuti anjuran dari PBNU untuk tidak melakukan kegiatan kongres (kaderisasi). Tapi disini saya paling khawatirkan di balik itu, ada politik kepentingan diatasnya. Repot juga, skrng permasalahan ekonomi semakin terasa apalagi dengan adanya momentum ramadhan. Sebagian harga sembako sudah mulai naik, tapi pada kenyataannya banyak masyarakat yg pendapatannya menurun bahkan ada yg sampai PHK. Setidaknya sekelas PB bisa lah, mengadakan baksos untuk masyarakat sekitar atau semisal mengeluarkan intruksi kepada kader pmii se-Indonesia untuk menggalang acara kemanusiaan dan sosial di tengan pandemi ini”. Kader Jombang memberi komontar “(PB PMII) Mati suri, gagal bersikap, Gagal berprinsip”. Lagi, lagi dan lagi saya menanyakan Aswaja dan Syahadat PB PMII, semoga masih hidup dan menyinari hati.

Dalam twibbon harlah tahun 2020 tema yang diusung sangat menarik “60 tahun Khidmat PMII untuk Negeri”, jika PMII diawal priode yang dimaksud mungkin iya, namun jadi penampakan PMII saat ini, maka perlu kita renungkan bersama bentuk khidmatnya seperti apa. Sebagai penutup, saya mempertanyakan kembali aplikatif paradigma dan Nilai dasar peregrakan (NDP) PMII yang sudah diajarkan ke kami semenjak Mapaba, khusnya aplkatif ditengah pandemi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *