
Oleh: Ahmad Fauzi (Koordinator Rumah Kader Jang Oetama)
Banyak pemikir mengakui bahwa Pancasila adalah produk ideologis terbaik bangsa ini, yang dari segala sisinya multi. Pancasila merupakan entitas yang memungkinkan setiap perbedaan teramu dalam satu bingkai, sehingga mendahulukan kesatuan.
Akan tetapi, akhir-akhir ini ia sedang dalam uji ketangguhan. Apakah ia masih mampu meredam potensi resistens antar yang berbeda, di tengah menguatnya sentimen ideologis dan munculnya momentum bagi mengerasnya ego identitas?
Merujuk pada ulasan yang diterbitkan oleh VoA, yang menyatakan bahwa aksi radikalisme agama, yang merupakan buah dari sentimen ideologis dan ego identitas itu, muncul sebagai bentuk dari respon terhadap hegemoni kapitalisme dan ketidakpuasan terhadap gaya sekularisme. Di Indonesia ini kejadiannya memang demikian, sehingga tepat, menurut saya, jika pemikir Indonesia sedang menggalakkan upaya untuk merevitalisasi Pancasila, terutama sila ketuhanan dan kesejahteraan.
Pada sila ketuhanan sebenarnya sudah cukup ideal jika ia merupakan bentuk dari upaya menghadang cara berbangsa yang sekuler, yang meniadakan peran agama dalam laku bernegara. Justru, menurut saya, sila pertama tidak semata ingin menghadirkan “tuhan” dalam berbangsa-bernegara, tetapi juga merupakan upaya untuk mengakomodasi perbedaan konsepsi bangsa ini terhadap tuhan itu sendiri. Ini merupakan antitesis dari upaya kelompok orang yang ingin memaksa konsep ketuhanan versinya dengan kelompok yang ingin konsepsi nya juga terakomodasi dalam sila Pancasila.
Sila ketuhanan inilah yang tidak dapat dimiliki oleh negara-negara yang saat ini sedang dalam konflik berkepanjangan itu. Agaknya, bangsa Indonesia mesti bersyukur dan belajar, bahwa para pendiri bangsa ini sudah melakukan upaya yang final, dalam konteks ini, sehingga kita, sebagai penerusnya, cukup mengamalkan dan menjaga agar tetap teraplikasi. Tidak perlu, menurut ku, kembali merecoki Pancasila, mempertanyakan apalagi berusaha untuk menggantinya. Memang, ini harus ditegaskan, bahwa konsepsi yang ada pada Pancasila tak mungkin tanpa celah kekurangan, akan tetapi adalah yang terbaik bagi bangsa yang tidak sewarna ini.
Kemudian sila kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat ini adalah idealitas yang sangat penting untuk menjawab ketidakpuasan terhadap model kapitalisme, yang merupakan titik berangkat kelompok tertentu dalam melakukan aksi-aksi fundamentalisme. Sila ini sesungguhnya sangat ideal, yang mencitakan kondisi kesejahteraan yang merata, yang tidak pernah ada contohnya dalam sistem kapitalisme.
Jadi, sebenarnya yang perlu dilakukan adalah, seperti ungkapan Yudi Latif, bangsa ini “perlu merevitalisasi Pancasila”. Karena tidak dapat dipungkiri, bahwa bangsa ini sendiri yang telah mengangkanginya, gagal dalam aplikasi nilai-nilai dasar Pancasila, yang terbukti maraknya upaya pemaksaan terhadap keyakinan dan ketimpangan kaya-miskin yang amat kentara.
Lebih jauh, Kuntowijoyo justru menyarankan adanya radikalisasi Pancasila, yaitu pengakaran ideologi. Upaya ini menjadi niscaya, sebab Pancasila nyatanya tak lagi efektif dalam praktiknya. Ia kalah dan ditenggelamkan oleh kekuatan narasi besar lainnya, sehingga ia hanya sekuat hafalan, tak lagi nyata dalam tata kelola negara. Jika kondisi ini berlarut, menurutku, ide untuk menggantinya dengan sistem ideologi yang lain, misalnya khilafah, akan terus menguat. Sebab pada titik jenuhnya bangsa akan mencari-cari alternatif ideologis bagi Pancasila.
November 2016