Oleh: Atmaja Wijaya (17103050013)
KORANPENELEH.ID – HOS Tjokroaminoto adalah sosok guru bangsa yang sangat berjasa dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat Hindia-Belanda dari penjajahan Kolonialisme secara fisik maupun pemikiran, sehingga tidak heran ketika belanda menyebutnya sebagai “Raja Jawa Tanpa Mahkota”, bahkan melalui perjuangan pergerakannya Syarekat Islam mampu menjadi Organisasi Pergerakan Nasional terbesar pada masanya di bawah pimpinan HOS Tjokroamnoto, sehingga sangat perlu kiranya kita mendalami pemikiran sang Guru Bangsa HOS Tjokroaminoto karena dari tangan lembut beliaulah mampu menstransfer nilai-nilai Islam berupa Kedisiplinan dan Keteladanan sebagaimana yang sudah diwariskan oleh baginda nabi Muhammad SAW, sehingga kelak mampu melahirkan Soekarno Sang Proklamator Kemerdekaan Indonesia, Buya Hamka yang menjadi Ulama ummat teladan Rakyat, beserta tokoh pergerakan seperti Musso, Alimin, Semaun, Kartosowiryo, Karwisastro dll.
Perubahan pemikiran Pak Tjokro ini dapat kita amati dari karya-karya yang beliau tulis. Seperti: Islam dan Nasionalisme (1916), Moslem Nationaal Onderwijs (1917), Islam dan Sosialisme (1924), Tarikh Igama Islam (1927), Memeriksai Alam Kebenaran (1928), Tafsir Program Asas dan Program Tandhim (1931), Reglemen Wasiat Pedoman Umat (1934). Dari sekian banyak pemikiran Pak Tjokro itulah, penulis ingin menilik pemikiran beliau dalam bidang hukum keluarga khususnya diskursus tentang “Perkawinan” yang terdapat dalam karyanya “Islam dan Sosialisme” serta “Reglemen Umum Ummat Islam” yang berisi tentang pedoman hidup ummat Islam dalam bidang akhlak, akidah, ibadah, perkawinan dan amar makruf nahi munkar.
Pemikiran beliau tentu tidak terlepas dari kondisi sosial-politik pada masa penjajahan belanda, dan penyerangan ideologi dari segala penjuru. Seperti halnya ideologi sosialisme yang digagas oleh Karl Marx, akan sangat berbahaya bagi ummat Islam hindia-belanda pada masa itu jika tidak di filtrisasi oleh ajaran-ajaran Islam. Sehingga tahun 1924 lahirlah buku Pak Tjokro tentang “Islam dan Sosialisme” yang muatannya juga memuat tentang kehidupan dalam rumah tangga.
Menurut penuturan Ust Yusuf Maulana bahwa motivasi Pak Tjokro dalam menulis buku “Islam dan Sosialisme” ini diantaranya adalah: 1. Agar sedapat-dapatnya bisa membangunkan prasaan ummat Islam bahwa Islam bukan menghendaki keselamatan tiap-tiap individu saja, tetapi juga keselamatan segenap pergaulan hidup manusia bersama. 2. Untuk membantah orang-orang yang mengatakan bahwa Islam tidak cukup memajukan hal-hal yang bertalian dengan politik, sosial, ekonomi.
Sosialisme yang Menyelamatkan Rumah Tangga
Sosialisme yang dimaksud Pak Tjokro di sini berkiblat kepada Nabi SAW, yang mana dimulai dari keluarga, seperti tujuan perkawinan dalam Islam haruslah merujuk kepada Al-Quran yang suci menyatakan bahwa demi keselamatan hidup bersama. Sembari Pak Tjokro mengutip beberapa subtansi ajaran quran tanpa menyebutkan letak ayat dan suratnya, seperti: “Kawinlah buat kecintaan, tidak buat mencapai hawa nafsu”, “Allah telah memberi istri padamu, haruslah kamu memegang kecintaan dan prilaku yang halus diantara kamu”. Perkawinan adalah hal terpenting dalam ekonomi yang berhubungan dalam kehidupan rumah tangga dan dalam kehidupan masyarakat, nabi kita menentukan perkawinan itu hendaknya dengan cara sederhana dan lumrah sekali. Hal inipun tercantum dalam KHI Buku 1 Hukum Perkawinan pada Bab II tentang “Dasar-dasar Perkawinan” pasal 2 dan 3.
Lanjut penjelasan Pak Tjokro “Perkawinan itu adalah satu perkara perjanjian (kontrak), yang menurut kemauan hukum Islam, bunyinya ada di dalam batas-batas yang luas sekali, bergantung dari pada kemauan pihak-pihak yang melakukan kontrak (pihak lelaki dan pihak perempuan). Kontrak itu haruslah disahkan oleh qadhi atau hakim”. Dari penjelasan di atas bahwa Pak Tjokro menganjurkan untuk adanya pencatatan perkawinan sebagai kekuatan atau bukti kontrak perkawinan tersebut. Sebagaimana hal inipun sudah diatur dalam pasal 5 Kompilasi Hukum Islam.
Adapun terkait poligami Pak Tjokro di sini berpendapat bahwa “Si perempuan atau wali boleh meminta, supaya dalam kontrak perkawinan itu disebutkan sungguh-sungguh, bahwa si laki-laki tidak bakal mengambil seorang istri yang kedua, atau apabila mengambil seorang istri yang kedua, maka si perempuan yang berkontrak tadi ada mempunyai keluasan buat minta cerai” lebih lanjut lagi Pak Tjokro menyebutkan “Orang harus berkawin dan menegahkan nafsunya, dan apabila orang kawin, meskipun beristrikan lebih dari seorang perempuan, tidak boleh tidak mereka mesti menuntut kehidupan sebagai yang telah ditetapkan hukum Islam.”. Sebagaimana maksud dari Pak Tjokro di atas juga sudah diatur dalam pasal 5 UU no 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang memuat syarat suami mendapat izin dari pengadilan ketika ingin berpoligami adalah harus lebih dulu mendapat izin dari sang istri dan adanya kepastian dari pihak suami bahwa dia mampu menjamin keperluan-keperluan istri-istri dan anak-anak mereka.
Pemikiran Pak Tjokro ini adalah sejatinya bertujuan membangun pondasi kehidupan keluarga yang kokoh dengan falsafah Islam, sehingga terciptanya faham sosialisme yang menyelamatkan rumah tangga, yaitu sosialisme yang berkiblat kepada Nabi Muhammad SAW. Sebab sosialisme barat mengangap bahwa hukum perkawinan Islam itu menindas kaum perempuan dan tidak memberikan hak-hak kemanusiannya. Padahal sejatinya hukum Islam memberi hak kepada pihak perempuan akan melindungi dirinya dari segala sesuatu yang menjadikan tidak senang baginya. Sehingga terciptalah suatu kesatuan kehidupan mulai dari rumah tangga, menuju cita-cita mono-humanisme (persatuan segala manusia).