Oleh : A Faruuq (Aktivis Peneleh Malang)
Perjalanan 3 jam 30 menit dari Malang ke Bangkalan Madura memang terasa melelahkan dan kantuk menjadi-jadi minta dilayani, namun semua itu tak meyulutkan semangat yang telah membara dalam bingkai niat keinginan belajar semangatnya dan pemikirannya sang ratu adil tanpa mahkota bersama sang revolusioner lainnya. Bismillah semoga tetap semangat dan istiqomah mengabdi keumatan selalu tertanam dalam jiwa dan raga.
Ok, pada kesempatan kali ini saya akan menarik benang merah dari sesi materi pertama yang saya tangkap.
Indonesia pada dasarnya merupakan negara besar, namun seringkali diremehkan oleh negara-negara asing. Seperti halnya ungkapan Belanda pada tahun 1915 di sebuah koran yang menyatakan bahwa Indonesia merupakan segerombolan orang yang malas, dungu, terbelakang, kemampuan berpikirnya rendah atau bisa disebut sangat primitif. Sehingga hal inilah sebagai dasar pemicu akan gerakan besar yang diinisiasi oleh HOS.
Tjokroaminoto yang tidak terima dengan pemikiran orientalisme Belanda tersebut, karena dirasa pernyataan Belanda tersebut sangat bertolak belakang dan dengan yakin bahwa sesungguhnya bangsa Indonesia tidak sebagaimana pernyataan Belanda. Kemudian agar bangsa Indonesia tidak dikotomi akan orientalisme itu, langkah aksi yang diambil untuk menantang orientalisme oleh HOS.Tjokroaminoto dan juga termasuk Ki Hajar Dewantara bersama lainnya yaitu menyebarkan pemahaman akan pendidikan kepada masyarakat Indonesia bahwa sesungguhnya pendidikan nasional yaitu mendidik rakyat kita untuk keperluan kita, namun lagi-lagi budaya kita selalu terdesak oleh budaya Eropa yang pada dasarnya banyak penyelewengan dari kultur Indonesia sesungguhnya.
Namun semangat itu terus berkobar dan tidak mengenal lelah dan Rumah Peneleh-lah sebagai saksi bahwa disitulah merupakan dapur nasionalisme yang melahirkan revolusioner-revolusioner hebat.
Demi perjuangan yang tidak sebatas penentangan orientalisme Belanda tersebut, namun tidak lain juga perjuangan untuk Zelfbestuur, HOS Tjokroaminoto yang lahir bersamaan dengan gunung krakatau meletus pada 16 Agustus 1882 di Batur, sawahan, Madiun dengan gigih meninggalkan keningratannya yang seharusnya hidup enak namun lebih memilih berjuang bersama rakyat.
Perjalanannya dimulai dengan kata Hijrah yang terus menghantuinya untuk konsolidasi. Ditemuilah Serekat Dagang Islam yang kemudian dipimpinnya menjadi Sarekat Islam (SI). Melalui SI inilah Pak Tjokro berjuang dan dibawah pimpinannya SI anggotanya terus meningkat hingga mencapai 2.500.000 yang membuat Belanda takut akan kebesarannya. Namun kebesaran yang ditakutkan ole Belanda bukanlah sekadar karena besarnya massa tapi HOS. Tjokroaminoto menanamkan nilai religiusitas dan nasionalisme pada badan SI sebagai nilai ideologisnya. Sebagaimana WF. Wertheim seorang sosiolog Belanda mengungkapkan “ikatan kolektif baru suatu jenis organisasi saluran kepada suatu keinginan umum untuk mempertahankan nilai”.
Bahwa memang harus disadari suatu gerakan aksi atau praktik apapun didalamnya pasti terdapat kandungan nilai yang diyakini dan mendasari.