Covid-19 dan Kesadaran akan Kematian

Ari Kamayanti

Setiap orang pasti mati. Saya terngiang lagu dari Bimbo yang beberapa liriknya berbunyi:

Pesan Nabi, jangan takut mati

Walau kau sembunyi, ia menghampiri

Dan mungkin ada suatu hal yang menarik dari Covid-19. Tetiba ada suatu panik massal bahwa “kita bisa mati segera”. Medsos berseliweran mengajak untuk menjaga diri, mencuci tangan setiap saat, tetap tinggal di rumah, menjaga kebersihan, serta pola makan dan olah raga. Ini medsos yang “rasional”.

Medsos yang lebih “spiritual” mengingatkan kembali bahwa ini azab Tuhan. Ini adalah tanda-tanda mendekati kiamat. Medsos “religius” menghujat Cina yang tak bertuhan karena menolak syariat Tuhan dengan tidak memakan makanan halal dan thoyib.

Pada intinya semua medsos seakan menggila karena satu hal: kematian sangat dekat saat ini. Kita akan mati gara-gara Covid-19. Bahkan ketika ada kabar bahwa seseorang meninggal dunia, pertanyaan seperti “Oo.. meninggal karena Covid 19 ya?”- menjadi pertanyaan reguler. Covid-19 sudah menjadi pemangsa kehidupan manusia.

Fenomena ini sebenarnya menampar kita (yang sadar bahwa kita sedang ditampar) bahwa manusia memang lebih sering lupa, daripada ingat, tentang kematian. Tentu benar, bahwa kita harus berikhtiar menjaga nyawa berharga kita yang diamanatkan Allah SWT, namun seharusnya jika kita ingat mati maka kita tidak harus menjadi “sepanik” ini yang kemudian menyebabkan aktivitas yang justru akan menjauhkan diri dari Tuhan. Penimbunan berlebihan, mengambil keuntungan akan kesulitan orang lain, hanya peduli diri sendiri, maupun sederetan lain aktivitas yang berakar dari egoisme. Perlu disadari bahwa kematian bisa datang kapanpun- tidak harus menunggu Covid-19.

Lebih perlu lagi disadari adalah bahwa nyawa kita hanya akan berharga saat nyawa tersebut, selama ia diamanahkan pada kita, dimanfaat sebaik-baiknya untuk menyejahterakan diri, keluarga, lingkungan, hingga semesta. Sekuensi yang saya baru saja sebut tergantung pada kesadaran keimanan kita- atas tanggung jawab pada sang Pemilik Nyawa Sejati.

Saya jadi teringat salah satu puisi Rumi: “Semua orang akan merasakan mati, namun tidak semua orang merasakan hidup”.

Hiduplah, dan itu berarti hidup Anda bermakna. “Bermakna” tidak berarti berapa lama Anda hidup, tetapi betapa bermanfaatnya Anda bagi orang lain. Khoirunnas Anfa uhum Linnaas

Dan…Jika Anda berada di jalan-Nya- insya Allah, maka jejak hidup Anda adalah masa depan semesta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *