Oleh: Sholeh UG (SUG)*
KORANPENELEH.ID – “Internet membuat kita lebih kejam, bersumbu pendek, dan tidak mampu melakukan diskusi yang berfaedah……. Internet menjelma menjadi arena orang bereaksi tanpa berpikir, sehingga penggunanya fokus membela reaksi diri sendiri, bukan menerima informasi baru.” (Tom Nichols, The Death of Expertise )
Perkembangan teknologi informasi dirayakan dengan gegap gempita oleh seluruh warga dunia. Manusia bergairah menyambut era baru digital sebagai harapan untuk membuat hidup lebih baik. Dan faktanya, benar, manusia lebih mudah memenuhi kebutuhan dasarnya melalui teknologi digital. Manusia dimanjakan oleh teknologi, karena pekerjaan-pekerjaan remeh temeh telah bisa dilakukan oleh robot, dan manusia kini memiliki tugas memikirkan hal-hal yang besar.
Tapi, tanpa banyak disadari sebenarnya pikiran kita sudah di “hack” oleh pihak yang berkepentingan, baik kepentingan politik maupun ekonomi, dan sudah jamak kepentingan politik dan ekonomi bersinergi menjadi raksasa yang rakus. Artificial intelligence akan memberikan informasi yang kita sukai (bukan yang kita butuhkan). Copas keagamaan yg kita baca di group WA adalah copas yg cocok dengan kita, bukan yang benar menurut kitab/ulama. Apa yang kita beli juga hasil dari sodoran iklan media daring. Alhasil hati dan pikiran kita sudah di hack oleh internet.
Kembali pada pendapat Nichols, internet membuat kita bersumbu pendek, karena penggunaan teknologi digital telah melahirkan efek Dunning Kruger: semakin bodoh seseorang semakin yakin orang tsb bahwa dirinya tidak bodoh. Efek Dunning Kruger ini dalam ilmu Mantiq disebut Jahil Muroqab. Orang jahil muroqab bukan hanya salah dalam menyimpulkan, bahkan yang lebih menyedihkan, telah kehilangan kemampuan menyadari kesalahannya.
Robert Hughes menjelaskan efek Dunning Kruger itu sebagai keadaan ketidakpercayaan pada politik formal yang ditandai dengan selalu skeptis pada pemerintah, dan mudah percaya pada takhayul, termasuk takhayul digital yang kita kenal sebagai hoax. Kemudian, dalam masyarakat yang inkompeten itu, ditimpali oleh ambisi politik melahirkan keterbelahan yang lebih tajam dari bibir jurang dalam. Dan masing-masing pihak berebut klaim bahwa diri atau kelompoknya yang kompeten.
Alhasil, saat ini kita hidup dalam riuhnya pesta alam gaib yang tak jelas siapa yang menari dan siapa yang memainkan musik. Musibah yang menimpa manusia tidak lagi melahirkan empati, melainkan menjadi bahan bakar perdebatan berdasarkan pemilahan politik, untuk menunjukan kompetensi diri/kelompoknya. Virus Corona, banjir Jakarta, hingga perceraian seorang ustad, dan banyak musibah lain, telah menjadi pesta penolakan rasionalitas oleh keyakinan yang tidak rasional dari orang-orang yang tidak pernah mampu menyadari bahwa dirinya tidak kompeten.
Selamat berpesta…
Pemerhati sosial dan konstitusi, penulis. Tinggal di Jogja